12 MEGAPIXEL [12]
Ditulis pada Maret 4, 2010
Kamu menjanjikan cinta abadi tanpa jaminan.
Langkahku terhenti ketika sosoknya tiba-tiba menghampiriku di teras rumahku yang berselimutkan awan gelap, namun riuh dengan suara guntur bersahutan. Aku pun memutuskan untuk menerimanya sebagai bagian dari penggenapan keputusanku.
Mantan cintaku masih dan makin menarik. Usia membuatnya makin matang. Kuakui dia memang sangat menarik untuk kaum hawa. Profesinya sebagai fotografer pun memperlengkap eksistensinya sebagai laki-laki yang patut diidolakan. Dan dulu, sekarang pun nyaris, aku menjadi salah satu korbannya.
“Ada apa?” Tanyaku singkat.
“Isteriku sudah menceritakan pertemuan singkat kalian. Sekarang aku mau menegaskan sesuatu padamu.” Jelasnya tajam.
Aku mengangguk sekilas, tak ingin berkata-kata.
“Aku mengharapkanmu hadir lagi dalam hidupku.” Lanjutnya.
“Kenapa baru sekarang?” Tanyaku cepat dan skeptis.
Ia menghembuskan nafas, seolah ada beban berat di benaknya. Sementara tiba-tiba aku merasa mual dengan semua ini. Pembicaraan tak tentu arah, yang hanya menyesatkan kami berdua dalam satu waktu, dan di waktu berikutnya membuat kami terbangun dengan linglung dalam realita.
“Aku tidak pernah ingin kamu pergi, tapi kamu memaksa dan menjauh dariku. Berulangkali aku berharap momen-momen yang aku perlihatkan di facebook akan kamu komentari, at least aku berharap ada setitik perhatian darimu, tapi tak satu huruf pun kamu torehkan disana.” Jelasnya panjang lebar dengan tone sedih bercampur putus asa.
Aku hanya tersenyum tipis. Dia tidak tahu betapa berat aku menahan diri untuk tidak menjadi bagian dalam hidupnya, sedikitpun. Dan aku membiarkan hal itu kusimpan sendiri, karena aku ingin semua usai, dan momen sekarang ini adalah bagian dari menjadi usai itu sendiri.
“Tidak adil kalau kamu mengungkapkan semua itu padaku di saat aku mau menikah. Dari dulu kamu egois.” Kataku datar menerjang.
“Bukan maksudku untuk menghalangimu dari pernikahan. Menikahlah. Aku hanya ingin kamu menjadi bagian dalam hidupku lagi.” Sergahnya cepat.
Aku mengernyit bingung. Sementara dia dengan perlahan meraih dan menggenggam tanganku erat. Aku semakin terombang-ambing dalam sejuta perasaan tak menentu.
“Apa yang kamu tawarkan untukku?” Tanyaku lugas.
Mantan cintaku tersenyum. Kalau aku tidak salah menilai, ia merona dan tampak tersipu seperti ABG yang berbunga-bunga. Sementara aku seperti tante-tante girang yang riang karena brondongnya mulai kena jerat. Huh.
Ia terdiam, lalu sesaat kemudian ia mendongak, kali ini dengan muka sendu.
“Perselingkuhan yang abadi.” Jawabnya tepat menghunjam.
Aku terpana selama beberapa saat. Kelugasan bentuk egoisme dirinya memang ciri khas utama mantan cintaku ini. Aku menarik tanganku perlahan dari genggamannya, ia tak menahan tanganku, namun menatapku tajam.
“Kamu datang dengan tiba-tiba dan memporak-pondakan persiapan pernikahanku, hanya untuk menawarkan cinta tak utuh?” Tanyaku heran.
Mantan cintaku mengangkat bahu. Kami pun terdiam selama beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia mendekatiku dan meraih kedua bahuku serta menatapku dalam.
“Kamu satu-satunya orang yang selalu membuatku hidupku penuh tanya, membuat hidup itu sendiri terasa hidup seolah kisah bersambung yang selalu ingin kuikuti. Please.” Katanya tegas.
Aku luruh, merasakan hal yang sama dengan yang ia ucapkan barusan. Sekali lagi ia memotret perasaanku dengan tepat. Lalu aku pun membiarkan diriku terhanyut dalam dekapannya, dekapan yang sudah aku kubur sekian tahun lamanya. [To be continued]
Posted in CERBER | Leave a reply
12 MEGAPIXEL [11]
Ditulis pada Februari 22, 2010
4
Menikahlah seperti sebuah foto yang abadi.
Selama berhari-hari persiapan pernikahan dibiarkan terus berjalan, tanpa ada yang menginterupsi. Barangkali semua orang masih berharap aku dan calon suamiku akan kembali dalam satu kata sepakat. Sementara bagaikan orang yang dipingit, aku menjauh dari semua orang. Calon suamiku pun tampaknya juga menghindar dari segala hal yang menyangkut pernikahan kami.
Dulu ketika aku merasa tak yakin dengan suatu hal, calon suamiku selalu ada untuk mendukungku. Sekarang, aku tahu aku harus meyakinkan diriku sendiri.
Beberapa saat sebelum isteri mantan cintaku datang, aku yakin kalau aku siap melangkah ke pernikahan walaupun sosok mantan cintaku hadir kembali. Namun, semua menjadi keraguan absolut saat kebenaran dimuntahkan padaku. Mantan cintaku menginginkanku, selalu dan selamanya.
Ibu menghampiriku sambil membawakanku secangkir teh hangat.
“Kamu masih bingung, ya?” Tanya Ibuku dengan polos tapi lugas.
Aku tersenyum sembari menerima teh hangat darinya.
“Anak sekarang punya banyak pilihan untuk mendapatkan jodoh. Dari facebook aja, bisa ketemu jodoh. Lain sama orang dulu.” Kata Ibu dengan nada halus.
Mau tak mau aku tersenyum lebar mendengar ungkapan Ibuku yang lugu dan konservatif saat menyebut jejaring sosial yang sedang trend saat ini.
“Tapi permasalahan menjelang pernikahan tetap aja sama. Memilih seseorang untuk selamanya memang bukan perkara mudah. Udah pacaran lama, tetep aja kalau mau nikah, bawaannya bingung dan ragu. Untung kamu enggak punya masalah kayak gitu.” Kata ibuku lagi dengan tenang.
Sementara aku terperangah kaget. Sudah jelas-jelas aku merasa bingung dan ragu, kok bisa-bisanya Ibuku berkata sebaliknya.
“Ibu enggak ngerti aja.” Sahutku pendek dan datar.
Ibuku tersenyum lebar, dan membelai rambutku.
“Kamu itu bingung enggak penting. Udah jelas-jelas calon suamimu itu sangat mencintaimu dan satu-satunya yang memenangkan hatimu, kok kamu malah jadi ragu cuman gara-gara laki-laki sontoloyo itu.” Ujar Ibuku dengan tenang walaupun kata-katanya menyentil.
“Tapi bu, kalau dia cinta sejatiku gimana?” Tanyaku gamblang.
“Emang kalau nikah harus sama cinta sejati, biar kalo mati, arwahmu gak penasaran gitu?” Kata Ibuku sambil tergelak.
Aku cemberut, bête dengan Ibu yang malah bikin joke di saat yang enggak tepat dan tertawa seenaknya di depan anaknya yang galau.
“Aku enggak ngerti deh sama Ibu. Maksud Ibu apa sih?” Tanyaku bête.
Ibuku berhenti tertawa tapi senyumnya masih tersungging.
“Cinta sejati itu cinta yang enggak mengenal realitas. Makanya kalau ada orang yang kasihnya tak sampai malah dibilangnya cinta sejati, soalnya yang dramatis itu kan puitis. Sementara kalau dalam rumah tangga dengan berbagai kenyataan, dibilangnya bukan cinta sejati. Lha ya memang bukan, lha wong kehidupan pernikahan itu bukan sandiwara.”
Aku terdiam berusaha mencerna kata-kata Ibu yang sebenarnya tak kusangka akan keluar dari Ibuku yang lugu dan polos.
“Maksud ibu, asal sudah ada cinta dan kesiapan berdua, itu udah jadi modal cukup buat menikah. Enggak usah pusing sama yang enggak real atau istilah-istilah yang beredar.” Kata Ibuku serius sambil tertawa lebar.
Aku mengangguk-angguk.
“Tapi kan emang mesti dipertimbangin bener-bener kan bu kalau tiba-tiba ada ragu begini?” Tanyaku tetap berusaha membela diri.
“Ya, tentu saja. Pernikahan yang sudah disiapkan jangan dijadikan deadline buat kamu. Pastikan itu jadi momen paling bahagiamu sekali seumur hidup.” Jawab ibuku tenang.
Kami pun berpelukan beberapa saat. Ada beban yang sedikit terangkat di lubuk hati ini. Dan aku tahu, aku harus menemuinya. [To be continued]
12 MEGAPIXEL [12] >
Posted in CERBER | 4 Replies
12 MEGAPIXEL [10]
Ditulis pada Oktober 1, 2009
4
Rasaku padanya sekarang ini cuman salah satu bentuk dari varian pengalaman perasaan terhadap masa lalu.Tidak perlu dianalisa lebih jauh.
Di titik ini, akhirnya hantu bertemu dengan alien. Istri mantan cintaku menyebutku hantu di sepanjang hidup pernikahannya. Sementara dulu ketika mereka menikah, aku menyebut istrinya itu alien, karena ia mendadak datang dan menculik cintaku.
Istri mantan cintaku itu menatapku takjub, dan aku tidak tahu kenapa. Sementara aku masih sering nanar dan tetap menganggapnya alien, karena sekali lagi dia menyeruak hadir dengan tiba-tiba di dalam hidupku.
Sementara calon suamiku mendadak bertindak sebagai wasit.
‘Tenang, semua tenang ya.’ Katanya lirih namun tegas.
Aku tahu dia juga berkata seperti itu untuk dirinya sendiri. Lalu ia menoleh kearahku dengan tatapan bingung sekaligus berusaha memberitahuku bahwa ia mengerti semua kebingungan ini. Dan walau aku tak mau sendirian menghadapi penculik cinta di masa laluku, tapi aku tahu aku harus melepaskannya.
‘Pergilah. Kamu benar, kamu pasti perlu waktu untuk berpikir. Kalau kita berjodoh, kita akan tahu dan saling mencari.’ Kataku tegas sekaligus pedih.
Kemarahan di wajah istri mantan cintaku mendadak sirna mendengar perkataanku barusan. Sementara calon suamiku segera memelukku sesaat sebelum akhirnya ia berlalu pergi.
‘Silahkan duduk.’ Kataku tenang pada istri mantan cintaku.
Lalu kami duduk berhadapan. Diam membisu. Suara detik jam semakin lama semakin terdengar jelas, pertanda suasana semakin larut dalam kebosanan dan keheningan yang terlalu menekan.
‘Saya… saya… ‘ Kata mulai meluncur dari mulutnya walau hadir dengan tergagap.
Lalu aku memberi senyuman manis padanya, berharap dengan begitu kata-kata yang mengalir darinya bisa mengalir lancar. And here you go.
‘Saya… pengin tahu bagaimana saya menurut mbak.’ Lanjutnya. Lalu ia tertunduk.
Sementara aku terperangah mendengar pertanyaannya.
‘Tolong jawab saya, ya mbak.’ Lanjutnya memohon.
‘Oh… baiklah. Saya akan coba menjawab.’ Kataku tegas menggantung.
Ia mendongak dan menatapku sungguh-sungguh.
‘Kamu adalah orang yang tepat untuknya. Bukan orang lain, bukan pula saya. Dulu saya pernah punya keinginan untuk sedetik saja bisa seperti kamu dengan begitu barangkali saya bisa sedetik juga memilikinya. Tapi saya bukan kamu, dan kamu bukan saya.’ Jelasku tenang.
Dia memandangku tak percaya.
‘Kenapa mbak ingin seperti saya? Toh suami saya selalu menginginkan saya menjadi seperti mbak!’ protesnya pilu.
Aku mendesah dan menggerutu dalam hati karena tiba-tiba masa lalu meminta penjelasan panjang lebar dariku.
‘Kamu mencintai dan memujanya. Saya tidak. Saya menyayanginya, tapi tidak lebih dari itu. Itulah kenapa dia lebih membutuhkan kamu, daripada saya.’ Jelasku makin singkat.
Sekali lagi, ia tampak tak percaya, dan makin terlihat luka di matanya yang bening.
‘Tapi dia mencintai dan memuja, mbak.’ Katanya lirih dan bergetar.
Kata-katanya menghujamku. Aku tidak bisa mendefinisikan perasaan yang tiba-tiba muncul di ruang benakku. Tapi aku tahu pasti bahwa aku harus mengakhiri pertemuan ini dan memberi jawaban pasti yang diharapkannya.
‘Sekarang apa yang mbak rasakan padanya?” tanyanya was-was.
‘Segala hal yang berkaitan dengan rasa yang pernah ada di masa lalu, pastilah akan mudah teraduk pun terurai. Tapi bukan berarti mudah untuk terjalin kembali. Dan dalam kisah ini, tidak mungkin lagi terulang dan terjahit kembali. Saya harap kamu juga mau menghargai perasaan saya. Dan kalau terjadi sesuatu dengan kalian, cobalah kalian menyelesaikannya sendiri. Barangkali saya hanya kambing hitam dari hubungan kamu dan dia. Maaf.’ Jelasku panjang lebar dan penuh emosi.
Aku tiba-tiba benci dan marah bukan karena cinta atau tetek bengeknya, tapi aku marah karena tiba-tiba ada yang merobohkan pintu salah satu bilik dalam hatiku. Hatiku yang dari dulu mengharap sebuah jawaban. Dan kini jawaban itu terucap dari seseorang yang pernah mencurinya dariku.
Aku berpaling menahan air mata. Istri mantan cintaku pun beringsut pergi, mungkin menahan air mata juga.
‘Maafkan saya.’ Itulah kata-kata terakhirnya sebelum ia beranjak pergi.
Apakah dengan permintaan maafnya itu berarti dia akan ikhlas mengembalikan apa yang telah dicurinya dariku? [To be continued]
12 MEGAPIXEL [11] >
Posted in CERBER | 4 Replies
12 MEGAPIXEL [9]
Ditulis pada Agustus 30, 2009
You’re just too good to be true.
Aku tidak tahu harus memulai darimana, tapi aku yakin aku harus menahannya untuk tak pergi dariku. Dan disinilah aku menatap nanar calon suamiku yang tampak sedang berkemas-kemas di apartemenku, yang selama ini sering kami tinggali bersama.
‘Jangan pergi’ Kataku singkat.
Calon suamiku tidak menjawab dan malah mempercepat acara packingnya. Akhirnya kudekati dan kupegang kedua tangannya hingga berhenti bergerak. Kucari tatap matanya, walo berulangkali ia berusaha menghindar, akhirnya kami pun bisa saling berpandangan. Hanya sedetik, namun cukup membuatku mengerti kalau ada luka teramat dalam disana.
‘Please, beri aku penjelasan tentang semua ini.’ Pintaku lirih namun memaksa.
Lalu sambil menepiskan tanganku, dengan suara tegas yang rapuh calon suamiku menjawab ‘Aku hanya berpikir kamu butuh lebih banyak waktu untuk berpikir lagi tentang kita dan pernikahan kita.’
Mataku terasa panas. Jawaban darinya terasa sangat datar, tapi tak ubahnya sebuah tuduhan yang menusuk.
‘Aku enggak minta apa-apa darimu, termasuk waktu untuk berpikir. Aku cuma mau kita melanjutkan pernikahan kita. Dan dari awal aku enggak pernah ragu.’ Kataku meradang.
‘Kalau gitu, aku yang butuh waktu berpikir.’ Sahutnya ketus.
Air mataku menetes, jawabannya terlalu cepat dan menyakitkan. Seolah dia ingin pergi dariku cepat-cepat. Aku terisak. Sakit. Sakit sekali.
Perlahan ia menoleh, sekilas aku yakin matanya juga berkaca-kaca namun pedih sirna dari matanya berganti dengan tatapan yang selama ini selalu kurindukan, lalu ia mendekatiku dan memelukku. Pelukannya masih terasa hangat dan mampu membuatku merasa sangat nyaman hingga air mataku tak lagi mengalir.
Rasanya aku ingin menghentikan waktu, dan kita bisa mematung dititik ini selamanya. Memori yang manis pun seolah berlomba-lomba untuk makin menghanyutkanku dalam keindahan ini. Aku masih ingat bagaimana dia suka memberantakkan rambutku dengan lembut, merangkulku semalaman, dan membuatku merasa jadi miliknya seorang dengan tak sedikitpun membiarkanku berpaling darinya. Dan aku berharap kali ini ia pun akan melakukan hal yang sama.
Hanya saja, seperti kaca jendela yang tiba-tiba pecah diterjang sebuah bola tak dikenal, ruang antara aku dan dia hancur begitu saja oleh suara bel yang ditekan berulang-ulang. Kami saling melepaskan pelukan perlahan dan menatap ke pintu.
‘Please, biarin aja. Mungkin cleaning service.’ Kataku.
‘Cleaning service enggak mungkin sekasar itu, sayang.’ Jawabnya cukup tegang.
Lalu calon suamiku segera beranjak menuju pintu, aku hanya mengikutinya, dan entah kenapa kedamaian yang tadi sempat terasa, mendadak menguap.
BRAAK!
Begitu suamiku membuka pintu, seseorang dari arah luar langsung mendorong pintu itu hingga terbuka lebar-lebar. Disana, di pintu itu, wanita itu berdiri dengan muka penuh amarah. Wajah yang sama yang dulu juga pernah membuatku sangat marah dan sakit hati. Istri sang fotografer, mantan cintaku.
Tanpa kata-kata sopan, wanita itu langsung to the point. Sangat straight forward.
‘Kalau mau ambil suami saya, ambil aja, mbak! Saya juga lama-lama gak tahan hidup dalam bayang-bayang mbak! Dulu dia bilang mbak cuman sahabatnya, tapi kenyataannya, dia selalu membicarakan mbak, dia selalu mengikutsertakan mbak dalam rumah tangga kami! Saya capek, mbak! Saya ingin dicintai sebagai diri saya sendiri!!’
Aku terperangah kaget. Sementara calon suamiku yang juga sempat kaget langsung menatapku kembali dengan tatapan terlukanya. Aku tak tahan melihat tatapan itu, tapi tolong, jangan berpaling dariku. [To be continued]
12 MEGAPIXEL [10] >
Posted in CERBER | Leave a reply
PEREMPUAN NINGRAT [5]
Ditulis pada Juli 27, 2009
Seorang penulis menggambarkan aku sebagai perempuan ningrat sempurna di sebuah cerber. Tapi aku hanyalah seorang wanita yang ingin melepas gelar keningratanku.
Aku punya gelar ningrat dari garis keturunan ayahku, tapi aku tidak memiliki mahkota ataupun kerajaan. Aku juga seorang wanita mandiri sekaligus wanita cengeng yang patah hati dengan sahabatku sendiri, Bagas Hendrakusuma. Dan aku tidak sesuci yang orang pikir.
Rakata Ziyu, begitulah aku mengenalnya. Seorang laki-laki matang yang menjabat sebagai Presiden Direktur di sebuah perusahaan media sekaligus penulis picisan di blognya sendiri. Banyak wanita mengelilinginya, tapi Rakata Ziyu belum mau memilih salah satu dari mereka untuk selamanya. ’Kalau bisa banyak, kenapa harus satu?’ begitu katanya padaku.
Aku adalah salah satu dari wanita yang ada dalam hidupnya. Hanya saja, aku satu-satunya wanita yang hidup satu atap dengannya. Kumpul kebo. Tidak ada keluarga ataupun teman-temanku yang mengetahui hal ini. Dan aku nyaman dengan hal ini.
Tiap malam sebelum kami tidur, Rakata Ziyu selalu memberiku sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang kadang tidak membutuhkan jawaban, dan kadang sangat menuntut lebih dari sebuah jawaban verbal.
“Kenapa kamu gak pernah mau mencantumkan gelar ningratmu di namamu?” tanyanya datar.
Aku tersenyum dan menatapnya.
“Buat apa? Gelar itu gak bikin kamu jadi milikku kan?” Jawabku santai.
Di suatu malam yang lain, Rakata Ziyu tampak murung dan sangat pendiam, tapi ia gak lupa memberiku sebuah pertanyaan.
“Apa yang bisa kamu berikan ke aku kalau aku kedinginan dan kesepian?” tanyanya sedih.
“I’m here.” Jawabku. Lalu aku memeluknya. Pelukan yang hangat adalah jawaban yang lebih tepat untuknya.
Rakata Ziyu membutuhkanku seperti ia menghirup oksigen. Tak heran dia selalu menggambarkan aku sebagai tokoh wanita paling hebat di tulisan-tulisannya. Sementara aku menganggapnya sebagai dementor, ia menyedot kehidupan dariku. Entah kenapa aku menyukai caranya mengambil alih hidupku.
Keliling dunia, membicarakan hal gak penting, menghabiskan waktu yang menjemukan, menunggu keputusan yang besar, hingga memaksaku untuk melihatnya duduk bersama wanita-wanita yang menempel padanya.
Hingga suatu hari, di sebuah klub malam termewah di ibukota, saat aku menemani Rakata Ziyu bersosialisasi dengan para wanita kelas jet set, aku bertemu dengan Raden Mas Suryo, kakak tertua dari garis saudara ayahku. Ia menatapku curiga.
“Jeng, kamu kok disini? Kamu sama siapa?” Tanyanya penuh selidik.
“Lhah pakde sendiri ngapain disini? Mana Bude?” Jawabku sendiri sambil menahan senyum. [To be continued]
PEREMPUAN NINGRAT [6] >
Posted in CERBER | Leave a reply
12 MEGAPIXEL [8]
Ditulis pada Juli 25, 2009
Kesepian ini terlalu gaduh, membuatku tak tenang. Sakit ini tak lagi menyiksa, tapi menetap. Kejujuran ini terucapkan, namun hanya suara trompet kematian yang menyambutnya.
Harus kuacungkan jempol pada calon mertuaku atas sindiran-sindirannya yang sangat mengena, tatap tajam matanya yang menyelidik sekaligus kebijaksanaannya untuk tidak melemparkan pertanyaan to the point padaku.
Acara mengambil foto hasil pre-wed pun berjalan lancar, kalau kepalsuan bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk kesopanan yang sempurna. Lalu saat aku, calon mertuaku dan mantan cintaku keluar dari studio, tiba-tiba sebuah mobil mewah yang tak kukenali berhenti di lobi tepat di depan kami.
“Nak, mama dijemput temen, tadi lupa bilang sama kamu. Mobil mama kamu pake aja dulu. Gapapa kan, nak?” Tanya calon mertuaku dengan suara penuh penekanan dan senyum maut.
Oh gosh, rencana apa lagi ini? Erangku dalam hati.
Aku mengangguk dan menjawab dengan basa-basi sampai calon mertuaku masuk ke dalam mobil temannya dan berlalu pergi. Lalu aku menoleh pada mantan cintaku yang sudah menatapku lekat-lekat sambil tersenyum manis. Memuakkan.
“Aku perlu bicara sebentar, boleh?” Tanyaku dingin padanya.
“Tanpa kamu ngomong, aku tahu ada yang mengganjal dihatimu, miss.” Jawabnya sok tahu.
Ruang kerja mantan cintaku dipenuhi dengan foto-foto pasangan bermuka bahagia hasil jepretannya, menambah nuansa tegang dan ironis pada suasana hatiku yang keruh menjelang hari pernikahanku. Sementara mantan cintaku duduk manis di depanku.
“Aku gak liat foto kamu dengan wanita itu.” Aku melancarkan sebuah prolog.
“Foto pribadiku bukan untuk konsumsi publik atau materi promosi kepiawaianku.” Jawabnya cool.
“What about your children?” Tanyaku ringan.
Mantan cintaku lalu tertawa terbahak-bahak, sementara aku mendadak tersihir jadi patung, tak berekspresi dan membatu, sama sekali gak tertarik dengan pancingan sense of humor-nya yang dibuat-buat.
“Aku menikah dan kami masih bersama sampai saat ini, kalau memang itu jawaban yang sebenarnya kamu cari, miss.” Lanjutnya (sok) tenang.
Kali ini aku yang tertawa terkekeh. Ia mengernyit.
“Senang bisa melihatmu salah membacaku.” Jelasku dengan tenang masih sambil tertawa.
Tiba-tiba kamu menjadi marah dan bingung, walau kamu berusaha menyembunyikannya dariku.
“Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kamu cari dalam hidupmu.” Lanjutku dengan suara renyah dan hangat sebagai tanda euphoria-ku membuka kartu truf-mu.
“Dia jawaban pencarianku selama ini.” Jawabmu seketika dengan tone defensif.
Aku tersenyum, “Lalu kenapa kamu menciptakan permainan picisan ini?”
Mantan cintaku hanya tersenyum kaget penuh sangkal dan mengangkat bahu.
Aku masih tersenyum dan lanjutku, “Fotografer sekelas kamu gak semestinya jadi bagian dari paket hemat acara pernikahan. Dari job ini, aku yakin kamu hanya ingin mendapatkan momen untuk menuang sirup merah di segelas air putih. Mengaduk-aduk hidupku dengan brutal, sementara istri dan anakmu menunggu dengan was-was. Apa? Apa yang kamu cari?”
Mantan cintaku terperangah mendengar ulasan dariku, lalu terdiam menunduk. Sementara aku beranjak berdiri untuk bersiap pergi.
“Tolong hargai rasa sakitku di masa lalu sebagai bentuk keinginanku melihatmu bahagia bersamanya, sekaligus akhir dari permainanmu ini.” Aku memberi epilog dan berbalik pergi.
“Aku tidak pernah siap dengan pilihan ‘take it or leave it’ darimu, miss.” Jawabmu buru-buru, berharap dengan begitu kamu bisa mengubah pemikiranku.
Aku menghentikan langkah dan berpaling kearah mantan cintaku, kali ini aku membalas tatapannya, bukan dengan binar-binar cinta, tapi tatap hangat sebentuk persahabatan.
“Berhentilah mencariku dan kamu akan akan tahu apa yang sebenarnya kamu cari dalam hidupmu.”
Aku memalingkan muka tepat disaat kamu hanya bisa terdiam dan matamu mulai berkaca-kaca. Lalu aku berlalu pergi, dan kali ini langkahku kembali terasa ringan. Dan dengan sebal harus kuakui kalau calon mertuaku memang ahli berstrategi.
Tiba-tiba terdengar ring tone hpku disusul suara omelan ibuku yang panik.
‘Kamu dimana? Aduh ibu bingung nih! Masmu, calon suamimu itu, masak menahan semua proses persiapan pernikahan, tapi calon mertuamu bilang pernikahan terus berjalan! Yang mana sih yang bener? Kalau ada apa-apa, bilang dong sama ibu, masak ibu jadi orang terakhir yang tahu, gimana sih kamu ini? Bla bla bla…’
Omelan ibuku mulai terdengar sayup-sayup, karena selanjutnya yang kutahu hanyalah jantungku berhenti berdetak seiring derap langkahku yang melaju kencang. [To be continued]
12 MEGAPIXEL [9] >
Posted in CERBER | Leave a reply
DIALOG DINI HARI [8]
Ditulis pada Juli 2, 2009
Aku bukan pencinta komitmen, tapi aku tahu apa yang aku inginkan saat ini tentang kita.
Suamiku mendesah kuat dalam ketidakberdayaannya membaca pikiranku. Sementara aku sengaja menatapnya lekat-lekat, memberinya kesempatan untuk merasa yakin bahwa aku serius dengan perkataanku.
‘Kapan kamu mau mengakhiri perselingkuhanmu?’ Sekali lagi kuulang pertanyaanku.
Tiba-tiba kamu marah, matamu memerah, seringaimu memberangas, dan nafasmu tak beraturan dalam ritme cepat. Kamu mendekatiku dengan langkah goyah.
‘Kurang ajar! Kamu sudah mempermainkan aku! Kamu membolak-balik perasaanku! Melukai egoku! Kamu kira aku sebodoh itu untuk bisa mempercayaimu lagi?’ tanyanya garang.
Aku sudah tahu dari dulu bahwa suamiku tidak pernah benar-benar siap berselingkuh. Ia selalu mencari kambing hitam dan cuci tangan setiap kali rahasianya nyaris terbongkar. Suamiku hanyalah laki-laki dengan kodrat dan sifat kelaki-lakiannya yang berada dalam garis sangat normal. Makhluk berego dan berhasrat besar. Lalu aku tertawa terbahak sendirian di ruang imajinasiku. Satu hal yang membedakan aku dengannya adalah aku wanita dengan perasaan sensitif.
Dan hidup berkutat dengan perasaan mengajarkanku untuk menata perasaan seperti meracik sushi. Semua harus dalam porsi kecil, detail rumit yang imut, dan sensasi rasa yang hanya boleh meledak sesaat. Dan sebaiknya disajikan dingin saja, karena sushi bukanlah dimsum dengan asap mengepul. Itulah mengapa aku tidak pernah menjadi korban dalam setiap cerita perselingkuhanku.
Lalu suamiku menghentakkan kaki, membuatku tersadar dan spontan menjawab pertanyaannya yang menjadi memori remeh berumur pendek dalam otakku.
‘Aku hanya mengutarakan fakta.’ Jawabku datar.
Suamiku mengatupkan rahangnya dan menggeretakkan giginya dengan keras. Suara dari mulutnya mampu mengeluarkan suara-suara tak jelas yang menyebalkan. Mungkin begitulah suara gertak sambal.
‘Kenapa kamu mau kembali padaku?’ Tanyanya lagi dengan kemarahan yang nyaris tak terbendung.
‘Dalam kisah Cinderella, tidak ada perselingkuhan ataupun perceraian. They just live happily ever after.’ Jawabku sedikit dengan tone komedi satir.
‘Kamu bukan Cinderella! Dan kisah kita bukan hanya dongeng pengantar tidur!’ Raungmu membahana.
Aku tersenyum manis pada suamiku. Suamiku mengernyitkan kening padaku, makin tak memahamiku.
‘Kalau memang kisah kita lebih nyata dan berharga, kenapa selama ini kamu tidak menjaganya?’ Tanyaku menjawab protesmu.
Lalu matamu berkaca-kaca. Ingin sekali aku bertanya alasanmu sebenarnya hingga kali ini kamu rela meneteskan air matamu di hadapanku. Namun, aku sudah terlalu jengah bermain seribu satu tebak-tebakan denganmu.[To be continued]
Posted in CERBER | Leave a reply
DIALOG DINI HARI [7]
Ditulis pada Maret 30, 2009
Dia tampan dan manis. Wajahnya eksotis. Cowok banget. Tutur katanya lembut. Ia mampu membuaiku hingga langit ketujuh. Auranya seksi. Menggoda. Apalagi? Apalagi yang ingin kamu ketahui tentang dia?
Pertanyaanku kamu jawab dengan pertanyaan, ‘apa kelebihan dia yang pernah membuatmu jatuh hati padanya?’ Dan walaupun aku benci dengan pertanyaan itu, aku menjawabnya.
Tapi kamu seolah tak puas dengan jawabanku. Kamu resah dan takut dengan perasaanku. Seolah aku ini manusia yang tak punya prinsip dan asal –asalan dalam hal cinta.
Akhirnya aku memilih diam ketika aku tak mampu lagi membungkam gelisahmu. Sementara kamu masih berperang dengan rasa tak percayamu padaku.
“Ketika kamu tahu aku selingkuh, kenapa kamu selingkuh?” Tanyanya kalut. Seolah ia tak sadar ia baru saja mengakui rahasia yang selama ini dia simpan dariku.
Aku tersenyum, mengagumi diriku yang sekali lagi berhasil membuat hidup ini sesuai dengan skenario yang sudah aku ciptakan sebelumnya.
“Apa itu salah?” Tanyaku balik padanya.
Suamiku terdiam dan akhirnya menggeleng-geleng perlahan. Ia menunduk dan sangat bingung.
“Sayang, aku gak pernah selingkuh, kalo selingkuh itu berarti berpaling pada orang lain dan memberi hati pada orang itu.” Jawabku tenang.
“Tapi kebersamaan diantara kalian, apa itu bukan suatu perselingkuhan?” Ia makin kalut.
“Aku hanya bermain api. Tapi aku tahu kapan aku harus memadamkannya. Sementara kamu, kamu bermain air, dan memilih menceburkan diri sampai tenggelam. Tapi sudahlah, sayang. Aku gak mau kita saling menilai begini.”
Kamu marah dengan jawabanku. Kamu merasa aku mempermainkanmu. Sementara itu, aku merasa sangat lelah. Tahukah kamu, aku sekarang sangat kesakitan?
Sekali lagi, ia membuat ruang kata menjadi pengap sekaligus hambar. Ia membuang kata-kata dalam diam. Dan aku muak dengan situasi tak menentu dan stagnant ini.
“Kapan kamu mau mengakhiri perselingkuhanmu dengannya?” Tandasku dingin.
Ia menatapku dengan berkaca-kaca, ‘Dia cantik. Pintar, walau tak sepintar dirimu. Raut wajahnya ada kemiripan dengan wajahmu. Ia tegar dan mandiri, persis seperti kamu. Seksi dan lembut, sama juga kan denganmu? Tapi dia mampu kutaklukkan, dan kamu tidak.’
Diam-diam aku tersenyum, karena aku tahu dia akan berkata seperti itu. Tanpa sepengetahuannya, aku sudah tahu siapa wanita itu. Dan tanpa melihat wanita itu pun, aku tahu dia akan mencari sebuah replika diriku, yang mampu ia taklukkan, persis seperti kata-katanya itu.
Suamiku nanar menatapku, mencoba membaca isi hatiku melalui raut wajahku, tapi sia-sia.
Aku memilih untuk menyiratkan kekosongan dan kehampaan, walau hatiku bergejolak ingin mengatakan segalanya dengan jujur dan meneriakkan perasaan dengan logika tumpul.
Bagiku penjelasan tak lagi penting kalau hanya mengaburkan maksud yang sesungguhnya. Jadi sekali lagi, aku bertanya, ‘Kapan?’ [To be continued]
DIALOG DINI HARI [8]
Posted in CERBER | Leave a reply
12 MEGAPIXEL [7]
Ditulis pada Maret 27, 2009
Aku mencintaimu…
Dia beranjak pergi. Memalingkan wajahnya dari wajahku. Raut wajahnya pun tak terbaca. Aku pun tak kuasa untuk menahannya.
Air mataku mengering seiring dengan malam yang semakin gelap. Sementara kantuk tak juga menyergap, membuat pedihnya hati ini makin meraja. Kalau kamu berpikir aku sedang menghadapi dilema antara mantan cintaku atau calon suamiku, kamu salah besar. Tapi bagaimana aku meyakinkan semua ini padanya?
…
Pagi menjelang. Kali ini hujan turun dengan deras, membuat suasana keruh semakin terasa keruh. Calon ibu mertuaku pagi-pagi menjemputku untuk mengambil foto pre-wedding di studio mantan cintaku. Aku merasa kejadian ini bukanlah suatu kebetulan.
Di dalam mobil yang bergerak lamban, ibu mertuaku tampak puas membaca raut wajah dan suasana hatiku yang aku tahu tak mungkin kututupi darinya.
“Kira-kira hasil foto pre-wed kalian bagus gak, nak?” tanyanya tegas tapi lembut.
“Bagus dong, ma. Moga-moga aja ntar mama suka.” Jawabku berusaha tenang.
“Ya semoga gitu. Lagian mama denger fotografernya kan temen kamu kan? Pasti dia bakalan bikin yang terbaik buat kamu kan?”
Pertanyaan retorikkah ini? Atau pertanyaan pancingan? Ah, semoga pertanyaan biasa yang retorik. Jadi, aku hanya tersenyum sekilas lalu berpura-pura serius memandangi jalan dan memegang erat setirku.
“Nak, ini bukan pertanyaan retorik.” Jelas calon mertuaku dengan tenang, namun tatapannya menghunjamku.
Aku gelagapan.
“Tapi juga bukan berarti kamu harus jawab. Mama gak maksa kamu jawab kok.” Katanya sambil tersenyum manis.
Aku tersenyum datar, mencoba tidak memikirkan apa-apa dan memilih tidak menjawab. Kesunyian mengisi perjalanan selama beberapa saat. Sampai akhirnya, aku tersenyum manis juga pada calon mertuaku.
“Mama akan dapat jawabannya sendiri nanti.” Kataku tenang.
…
Studio foto tempat mantan cintaku adalah gedung minimalis yang walaupun tidak besar tapi sangat artistik. Ruangannya pun selain didesain artistik, juga dibuat sedemikian rupa sehingga para pengunjung bisa mendapatkan cita rasa seni yang tinggi sekaligus homy.
Tapi saat ini, ruangan itu terasa dingin.
Mantan cintaku memperlihatkan hasil foto-foto pre-wed pada calon mertuaku dan aku dengan sangat profesional, yang makin membuat calon mertuaku curiga.
“Katanya temen lama, kok kalian saling jaga jarak sih?” tanya calon mertuaku sambil terus ngeliat foto-foto.
Aku dan fotografer mantan cintaku berpandangan sekilas. Terdiam.
“Foto-fotonya bagus nih. Coba anakku bisa motret kayak gini…” kata calon mertuaku. Dan kata-katanya menggantung. Ini bukan pernyataan asal omong. [To be continued]
Posted in CERBER | Leave a reply
12 MEGAPIXEL [7]
Ditulis pada Maret 27, 2009
Aku mencintaimu…
Dia beranjak pergi. Memalingkan wajahnya dari wajahku. Raut wajahnya pun tak terbaca. Aku pun tak kuasa untuk menahannya.
Air mataku mengering seiring dengan malam yang semakin gelap. Sementara kantuk tak juga menyergap, membuat pedihnya hati ini makin meraja. Kalau kamu berpikir aku sedang menghadapi dilema antara mantan cintaku atau calon suamiku, kamu salah besar. Tapi bagaimana aku meyakinkan semua ini padanya?
…
Pagi menjelang. Kali ini hujan turun dengan deras, membuat suasana keruh semakin terasa keruh. Calon ibu mertuaku pagi-pagi menjemputku untuk mengambil foto pre-wedding di studio mantan cintaku. Aku merasa kejadian ini bukanlah suatu kebetulan.
Di dalam mobil yang bergerak lamban, ibu mertuaku tampak puas membaca raut wajah dan suasana hatiku yang aku tahu tak mungkin kututupi darinya.
“Kira-kira hasil foto pre-wed kalian bagus gak, nak?” tanyanya tegas tapi lembut.
“Bagus dong, ma. Moga-moga aja ntar mama suka.” Jawabku berusaha tenang.
“Ya semoga gitu. Lagian mama denger fotografernya kan temen kamu kan? Pasti dia bakalan bikin yang terbaik buat kamu kan?”
Pertanyaan retorikkah ini? Atau pertanyaan pancingan? Ah, semoga pertanyaan biasa yang retorik. Jadi, aku hanya tersenyum sekilas lalu berpura-pura serius memandangi jalan dan memegang erat setirku.
“Nak, ini bukan pertanyaan retorik.” Jelas calon mertuaku dengan tenang, namun tatapannya menghunjamku.
Aku gelagapan.
“Tapi juga bukan berarti kamu harus jawab. Mama gak maksa kamu jawab kok.” Katanya sambil tersenyum manis.
Aku tersenyum datar, mencoba tidak memikirkan apa-apa dan memilih tidak menjawab. Kesunyian mengisi perjalanan selama beberapa saat. Sampai akhirnya, aku tersenyum manis juga pada calon mertuaku.
“Mama akan dapat jawabannya sendiri nanti.” Kataku tenang.
…
Studio foto tempat mantan cintaku adalah gedung minimalis yang walaupun tidak besar tapi sangat artistik. Ruangannya pun selain didesain artistik, juga dibuat sedemikian rupa sehingga para pengunjung bisa mendapatkan cita rasa seni yang tinggi sekaligus homy.
Tapi saat ini, ruangan itu terasa dingin.
Mantan cintaku memperlihatkan hasil foto-foto pre-wed pada calon mertuaku dan aku dengan sangat profesional, yang makin membuat calon mertuaku curiga.
“Katanya temen lama, kok kalian saling jaga jarak sih?” tanya calon mertuaku sambil terus ngeliat foto-foto.
Aku dan fotografer mantan cintaku berpandangan sekilas. Terdiam.
“Foto-fotonya bagus nih. Coba anakku bisa motret kayak gini…” kata calon mertuaku. Dan kata-katanya menggantung. Ini bukan pernyataan asal omong. [To be continued]
PETAK UMPET [4]
Ditulis pada Februari 14, 2011
Tak pernah sepenuh hati mencintaimu. Hingga aku berharap cupid menarik anak panahnya dariku, atau meniadakan hari valentine.
Dari sejak pertama Bubi mengucapkan kata cintanya padaku, hari Valentineku selalu semarak dengan pernak-pernik klise ala Valentine. Kadang aku berharap tidak ada lagi hari Valentine agar rasa bersalahku pada Bubi bisa sedikit berkurang.
“Filo, selamat hari valentine.” Bubi mengecupku mesra lalu menyodorkan sebuah kotak beludru. Satu lagi cincin berlian yang hanya akan menjadi onggokan tak berguna di ruang hatiku.
Seperti biasanya, aku akan pura-pura antusias, memakai cincin itu, dan mengecup Bubi sambil membisikkan kata I love you. Namun kali ini tanganku mematung, mulutku terkatup rapat.
Bubi sangat mengerti aku.
“Filo, kamu kenapa?”
Aku terdiam selama beberapa saat. Sampai akhirnya, aku tak mampu menahan kata-kataku sendiri.
“Bubi, kali ini kita ngerayain Valentine sama Bugi yuk.” Desakku kuat.
Bubi tampak kaget lalu menggeleng perlahan.
“Aku enggak tahu dimana Bugi, Filo. Kenapa kamu tiba-tiba pengin ketemu Bugi?” Tanya Bubi bingung.
Aku hanya bisa menunduk. Bubi lalu memelukku.
“Aku juga kadang kangen sama Bugi, tapi dia enggak pengin kita temuin. Aku rasa dia sekarang udah bahagia dengan kehidupannya, Filo.” Kata Bubi lembut menghibur.
Barangkali kalau gadis lain akan mengurungkan niat untuk memikirkan laki-laki lain saat dipeluk dan dihibur oleh Bubi. Hanya saja, aku merasa semua ini sesuatu yang terlalu manis. Indah di permukaan.
Aku tak pernah bisa menemukan Bubi seutuhnya.
“Bubi, aku pengin ngelewatin malam valentine ini sendiri.” Desahku lirih namun tajam menghujam.
Bubi melepaskan pelukannya dan menatapku lekat-lekat.
“Kenapa, Filo? Kamu kenapa?” Tanya Bubi dengan nada perih.
Air mataku menetes. Aku lelah dengan semua ini. Buat Bubi selayaknya hidup itu mesti sederhana dan normal. Semua harus memiliki alasan dan tujuan yang jelas. Namun, Bubi suka lupa akan pentingnya sebuah makna.
“Akhir-akhir ini aku merasa kamu tak pernah menganggapku ada, Filo.” Kata Bubi datar dengan emosi terluka.
“Kenapa kamu bisa bilang gitu, Bubi?” Tanyaku spontan.
Bubi menggeleng pelan, lalu ia memaksakan senyum lebar.
“Enggak. Enggak kenapa-kenapa. Ya udah, kalau kamu mau sendiri enggak apa-apa. Aku mau nengok Mama aja kalau gitu.” Jawabnya sempurna.
Itulah Bubi. Ia tak pernah benar-benar bisa jujur membuka dirinya padaku. Ia lebih suka berakting semua baik-baik saja, meninggalkan peran orang tertuduh, tersangka, dan terbukti bersalah padaku untuk kumainkan.
Bubi melangkah pergi. Tak sedikitpun aku ingin menahannya, sebaliknya aku merasa sangat lega.
Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah cafe kesayangan Bugi, tanpa mengharapkan bisa bertemu dengannya. Handphone kumatikan. Aku hanya berharap bisa sedikit saja merasa tenang.
Lalu aku menemukan sosok Bugi disana.
“Aku selalu disini tiap hari Valentine, berharap suatu hari kamu melewatkan satu hari Valentinemu bersama Bubi, dan memilih bersamaku.” Katanya ringan penuh perasaan.
“Keinginanmu kali ini terkabul, dong?” Candaku renyah. Entah kenapa setiap kali bersama Bugi, aku merasa sangat lepas dan nyaman.
“Apa yang membuatmu akhirnya meninggalkan Bubi, Filo-filo?” Tanya Bugi.
“Your soul is perfectly dark. I love you so much then.” Kataku lembut dengan tatapan penuh canda.
“Jawaban yang seksi.” Katanya tersenyum jenaka.
“You never hide anything inside of you.” Lanjutku kali ini dengan sedikit serius.
“It’s the part of being human.” Sahutnya tak kalah cepat.
Kami saling bertatapan. Lalu Bugi meraih dan menggenggam tanganku.
“That’s why, aku menerima tawaran menjadi pemegang saham sekaligus direktur disini. Aku enggak akan kemana-mana lagi, Filo.” Katanya penuh arti.
Aku tersentak.
“Maksud kamu?” Tanyaku berusaha tenang.
“I want you to stay with me.” Katanya penuh penekanan.
Mencintai dan hidup bersama Bugi adalah impianku selama ini, namun aku pun tak siap melepas Bubi secepat ini. [To be continued]
Posted in CERBER | Leave a reply
DEAR MY FUTURE CHILDREN [3]
Ditulis pada Januari 26, 2011
Hidup ini kadang seperti lirik lagu, ‘madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu’.
Rasanya sudah lama sekali Mama tidak menulis surat untuk kalian. Mama terhanyut dalam putaran-putaran hidup sekaligus Mama ingin tetap selektif menuliskan apa yang benar-benar esensial mengenai hidup ini pada kalian.
Saat ini Mama ingin berbagi cerita tetang betapa hidup ini sangat kaya warna. Pun kadang banyak orang yang lebih suka melihat dua warna saja. Hitam dan Putih.
Banyak hal berlawanan dalam hidup terjadi pada satu waktu, terutama suka dan duka. Mama pernah merasa sangat miris ketika Mama harus mengerjakan begitu banyak tugas hingga larut malam selama beberapa hari, disaat hati Mama hancur berantakan karena cinta.
Rasanya saat itu Mama hanya ingin menangis dan berhenti melakukan apapun, kalaupun bisa Mama ingin menghentikan putaran dunia agar Mama bisa mematung dengan hati yang membeku. Mama pikir dengan begitu, luka di hati Mama tidak akan terasa lagi.
Ada saatnya pula Mama memiliki momen bahagia dalam hidup Mama, tapi banyak hal yang menjadikan momen itu tidak sepenuhnya membahagiakan, seperti hari natal yang indah dengan kenyataan pahit dimana Mama harus menyaksikan sendiri orang-orang yang Mama sayangi jatuh sakit dan merapuh.
Semuanya itu seperti ketika Mama patah hati dan harus naik kereta dari satu kota ke kota lain. Kereta itu terus melaju tanpa henti menuju kota tujuan. Sementara hati Mama masih tertinggal di hati seseorang di kota asal itu. Bahkan ketika sampai di kota tujuan, rasanya hidup Mama berhenti di jam, menit dan detik saat Mama kehilangan seseorang itu.
Uniknya, walaupun kereta itu bisa membawa Mama kembali lagi ke kota asal, Mama tidak terpikir untuk membeli tiket untuk pulang lagi ke kota itu saat itu juga. Mama sadar kejadian dalam hidup tidak akan pernah bisa terulang lagi.
Mama pun memilih untuk menjadi seperti kereta itu. Terus melaju. Meskipun ada memori, rasa ataupun cinta yang tertinggal di sudut hati seseorang atau masa lalu. Akan menjadi lebih mudah bagi kalian untuk memiliki kota tujuan kalian sendiri, entah itu hidup, impian atau hati kalian sendiri. Supaya kalian tetap punya alasan untuk melaju. Dan alasan terbesar Mama adalah kalian. Kehadiran kalian dalam hidup Mama di suatu waktu di masa depan.
Dan satu lagi sayang, kalau kalian suatu hari nanti mengalami hal yang hampir serupa dengan apa yang Mama ceritakan barusan, percayalah bahwa selalu ada ruang diantara hitam dan putih.
Ruang yang memang tidak mudah untuk ditemukan karena banyak orang yang lebih suka melihat hidup dalam porsi yang tidak imbang. Melihat rintangan tanpa melihat tantangan, menikmati kesenangan tanpa mengerti makna.
Ruang itu akan membantu kalian melihat bahwa hidup ini memiliki banyak warna. Tak semua warna yang terkombinasi enak untuk dilihat apalagi dirasakan. Tapi banyak pula perpaduan warna yang sangatlah indah. Begitulah hidup, sayang. Menarik bukan? [to be continued]
Posted in CERBER | Leave a reply
Dear My Future Children [2]
Ditulis pada Desember 10, 2010
Ijinkan Mama membuka satu cerita masa lalu. Cerita manis sekaligus sangat menyakitkan yang Mama tidak mau mengulangnya lagi di langkah hidup Mama selanjutnya.
Sayang, Mama tidak tahu apakah menceritakan seorang laki-laki yang pernah ada dalam kehidupan Mama di masa lalu merupakan hal bijak atau tidak untuk kalian. Hanya saja Mama merasa kalian harus tahu mengenai seseorang ini karena dia banyak mengubah Mama.
Mama minta terimalah cerita ini dengan menghargai Mama sebagai pribadi sekaligus wanita yang pernah melewati masa-masa muda.
Mama pernah berpikir seseorang ini adalah soulmate Mama. Sekaligus dari awal Mama tahu dia bukan Ayah kalian.
Nama. Apalah arti sebuah nama.
Seseorang itu masuk dalam kehidupan Mama dengan berani. Dia begitu alive. Tidak pernah ragu meminta apapun dari Mama. Sangat extravaganza.
Mama tidak pernah tahu pasti kapan Mama akhirnya menyayanginya. Waktu terus berjalan, dan kemanapun Mama dan seseorang itu berpisah, kami selalu bertemu, saling menemui.
Dia tidak pernah benar-benar ada disamping Mama, tapi dia selalu ada setiap saat Mama membutuhkannya.
Buat Mama, seseorang itu sudah sangat sabar menghadapi Mama kamu yang sempat membeku. Mama pernah menutup hati Mama semenjak Mama kehilangan kakek kamu. Tapi seseorang itu mampu mencairkannya. Barangkali memang butuh waktu lama, tapi dia sangat sabar menghadapi Mama kamu.
Dengan seseorang itu Mama belajar menjadi pribadi yang lebih berkembang dan terbuka.
Dengannya Mama bisa melihat dunia dengan lebih luas, merasakan warna-warninya kehidupan, dan cinta itu sendiri.
Tapi Mama masih muda dan ambisius saat itu. Mama memilih mengejar impian. Mama mencintai diri Mama sendiri, dan karena Mama sangat mencintai kalian. Mama sadar Mama harus segera beranjak, daripada hanya mengikuti cinta yang Mama sendiri tak yakin.
Uniknya, kami masih tetap saling menemui. Menghabiskan sederet malam yang berjumpa dengan pagi. Menatap hari yang pada satu titik kami tahu, kami tak ditakdirkan untuk menjelang hari esok bersama hingga tua nanti.
Di suatu pagi, kami menemukan bahwa kami tak lagi bisa saling berbicara. Satu kata terlepas menambah jarak yang kian melebar.
Mama sangat menyayanginya. Hanya saja, Mama sadar Mama harus segera melepasnya. Mama sudah berusaha keras menahannya. Tapi seseorang itu lebih dulu tahu kalau Mama hanya menjanjikan komitmen tanpa batas waktu. Sementara dia ingin segera menikah.
Rasanya sakit sekali, sayang. Dia orang yang telah mencairkan hati Mama sekaligus membekukan hati Mama lagi. Mama pikir setelah melepasnya, Mama bisa moving on.
Ternyata terkadang Mama masih mencari sosoknya di pribadi-pribadi yang lain. Mama pun butuh waktu yang sangat lama untuk Mama bisa jatuh cinta lagi.
Sayang, kamu jangan marah ya dengan om itu. Percayalah, dia sangat berarti dalam hidup Mama. Kalau dia pernah melukai Mama, Mama juga pernah menyakitinya.
Mama menceritakan seseorang ini, karena kalau Mama tak bertemu dengannya, sebelum Mama bertemu dengan Ayahmu. Barangkali Mama dan Ayahmu tak akan menikah.
Kalau Mamamu tak pernah memiliki seseorang itu di masa lalu, Mama pasti masih introvert, seribu kali lebih sensitif daripada sekarang, ambisius, tegang, kaku, dan menderita syndrom super. Tertawalah kalau kalian ingin tertawa, sayang.
That’s why, bagaimanapun juga berterimakasihlah pada om itu ya, sayang.
Dia pernah ada dalam hidup Mama kamu di masa lalu. Itulah mengapa Mama tak mau lagi menyebut namanya sekarang di depan kalian. Semua sudah berlalu.
Tapi percayalah, satu orang demi satu orang akan mengantar kita pada seseorang yang tepat, sayang.
Mama pun jatuh cinta lagi. [to be continued]
DEAR MY FUTURE CHILDREN [3] >
Posted in CERBER | Leave a reply
Dear My Future Children [1]
Ditulis pada Desember 5, 2010
2
Sayang, kamu mungkin bertanya-tanya alasan mama menunda kehadiran kalian disini. Mama akan ceritakan semuanya satu per satu.
Barangkali tidak semua kisah akan mama tuliskan disini, tapi mama pastikan semua alasan yang kalian ingin tahu semua akan mama bagi ke kalian semua.
Tahukah kalian bahwa untuk mendapatkan seorang ayah yang terbaik untuk kalian bukanlah semudah membalik tangan? Mama harus berulangkali patah hati dan melepas pria-pria yang mama sayang demi tetap mencari satu yang terbaik untuk kalian.
Sampai saat ini mama belum menemukan sosok yang mampu mengerti rencana besar untuk kalian semua yang sedang mama jalankan.
Banyak pria yang berpikir mama mengejar karier. Sebenarnya jauh di lubuk hati, mama melakukan semua ini demi kehidupan yang lebih baik di masa depan, agar mama bisa lebih matang mempersiapkan dunia yang indah untuk kalian.
Mama masih ingin studi dan keliling dunia. Mama juga ingin mereguk kehidupan lebih banyak lagi. Agar kelak saat kalian hadir, mama bukanlah gadis yang terpaksa dewasa lalu tak mampu menjagai kalian, tapi seorang wanita yang memang memilih menjadi seorang mama pada waktu yang indah.
Salahkah Mama dengan rencana itu?
Mama juga ingin kalian hidup dengan taraf kehidupan yang baik. Supaya kalian semua tidak perlu merasakan kesusahan yang pernah Mama alami di masa muda, dan agar kalian bisa berkembang melebihi Mama.
Memang ada beberapa hal yang menyangkut kepentingan Mama, seperti Mama tidak ingin menjadi ibu-ibu yang jadi kusut masai dengan kosmetik murah dan baju seadanya karena masalah finansial. Mama selalu ingin tampil cantik sebagai pribadi sekaligus pendamping tercantik di sisi Ayah kalian nanti.
Ayah kalian juga berhak mendapatkan yang terbaik dari Mama bukan?
Pernikahan juga bukan hal yang mudah, sayang. Bulan madu barangkali bak dongeng, selebihnya adalah realita. Menyadari hal itu, mama juga harus berulangkali menampik sindiran-sindiran kapan nikah dari orang-orang di sekeliling mama.
Mama lebih suka menikah di saat Mama sudah siap dengan semua itu, bukan karena tuntutan sosial, umur ataupun hasrat biologis.
Sampai sini kalian bisa mengerti kan, sayang?
Sekarang Mama sedang banyak proyek baik di kantor atau di luar kantor. Tidak bisa terlalu lama menulis surat untuk kalian. Semua ini Mama lakukan sekarang agar kelak saat kalian sudah berada disini, Mama tak lagi perlu bekerja rodi seperti sekarang.
Tentang calon ayah kalian, sabar ya sayang. Mama juga pasti akan ceritakan pada kalian semua. [to be continued]
DEAR MY FUTURE CHILDREN [2] >
Posted in CERBER | 2 Replies
PEREMPUAN NINGRAT [8]
Ditulis pada Juli 29, 2010
Aku adalah seorang individu yang bebas sekaligus anggota keluarga ningrat yang memiliki banyak kewajiban klise untuk tujuan keningratan itu sendiri. Menikah termasuk diantaranya.
Ayah tak berkata apa-apa lagi padaku mengenai kepergiannya ke Jakarta. Sementara aku masih membisu karena takjub sekaligus bingung. Lalu ayah pun berlalu pergi. Kini hanya ada aku dan ibuku. Aku dengan masih menunduk mencoba mencari tahu kegelisahan yang tiba-tiba membuatku gundah.
“Ibu, apakah ayah dan ibu meminta pertanggungjawaban dari Rakata Ziyu?” Tanyaku lirih menjerit.
Ibu tersenyum tipis. Ada getir di kedua matanya, namun ibu selalu pintar membawa diri. Tak sedikitpun emosi yang beliau hamburkan tanpa alasan yang kuat.
“Rakata Ziyu tidak bersalah, buat apa kami menggugat dia? Kami hanya ingin mengenalnya.” Jawab ibuku ringan penuh penekanan.
Ayah dan ibuku selalu punya berbagai cara menangani masalah yang sungguh diluar dugaan banyak orang, termasuk aku. Aku tidak siap menanggung jawaban ibu yang tak mampu kupahami.
Ibu pun mengerti lalu katanya, “Pertemuan diantara kami, membuat ayah dan ibumu ini paham kenapa kamu sangat mencintai laki-laki itu, sekaligus alasan kamu tidak menikah dengannya. Selesaikanlah apa yang harus kamu selesaikan dengan dirimu sendiri dulu.”
Aku mengangguk dan menatap ibu lekat-lekat, “tapi biarkan aku pulang ke Jakarta, bu.”
Ibu menggeleng tegas dengan tatapan tajam.
“Bagaimanapun juga kamu harus mempertanggungtanggungjawabkan perbuatanmu pada keluarga besar kita. Waktumu hanya 1 minggu sebelum rapat keluarga. Rakata Ziyu atau Bagas.”
Aku terperangah kaget. Tiba-tiba hidupku hanya akan ditentukan dalam hitungan hari.
“Tapi bu-“ Sergahku cepat dan emosional.
“Semua tindakan ada konsekuensinya, kamu tahu itu.” Kata ibu melembut namun mengancam agar aku tak memberontak lebih jauh lagi.
Ibu berlalu pergi, saat aku hanya bisa tercenung seorang diri sehingga tak menyadari kehadirannya.
“Ajeng.” Sapanya hangat sekaligus meragu.
Aku menoleh dan sekali lagi hidup memberiku kejutan di hari ini. Rakata Ziyu berdiri tak jauh dariku, tampak tampan dan penuh kharisma seperti biasanya.
Semilir angin dan pemandangan yang hijau tak membuat hatiku yang berantakan membaik. Bahkan Rakata Ziyu yang kini ada disampingku sekalipun.
“Maafkan aku, semuanya jadi kacau.” Kataku lirih mendayu.
Rakata Ziyu menggeleng, “Semua ini harus terjadi agar kamu dan aku benar-benar bisa berpikir lebih serius tentang kita dan diri kita masing-masing.”
“Aku menikmati bentuk hubungan kita selama ini, dan belum berniat untuk mengubahnya. Aku yakin kamu pun pasti begitu.” Tandasku lembut.
Kami saling bertatapan lekat, ketika tiba-tiba sebuah pukulan menghantam wajah Rakata Ziyu.
“Laki-laki kurang ajar!” Teriak Bagas yang tiba-tiba muncul dan tampak sangat kesal.
Rakata Ziyu berdiri dan menatap Bagas tajam.
“Akhirnya kita bertemu. Kamu pasti Bagas.” Kata Rakata Ziyu tenang penuh penekanan.
Bagas tampak sedikit terkesiap mengetahui Rakata Ziyu menyebut namanya seolah sudah mengetahui sesuatu tentangnya.
“Kamu boleh memukulku lagi kalau kamu memang tidak pernah berbuat kesalahan pada Ajeng.” Sambung Rakata Ziyu menggeretak lembut.
Bagas pun perlahan menurunkan tangannya, walaupun masih menatap Rakata Ziyu dengan penuh amarah dan kebencian.
“Aku tidak akan membiarkan kamu menikahi Ajeng.” Geram Bagas.
“Aku rasa tidak ada satu pun dari kita yang akan dipilih Ajeng.” Timpal Rakata Ziyu lirih dan sedih.
Bagas mengernyit tak mengerti dan menatapku tajam. [To be continued]
Posted in CERBER | Leave a reply
PETAK UMPET [3]
Ditulis pada Juli 29, 2010
Kenapa kamu mau melakukan apa saja untuk benar-benar mencintaiku? Apa yang aku miliki namun ku tak menyadarinya sehingga kamu tak pernah sedetikpun berpaling dariku?
Suasana terasa membeku sesaat walau aku berusaha untuk terus tersenyum ceria seolah permintaanku hanyalah keinginan sesaat anak kecil yang meminta sebuah es krim.
Namun kemudian, tak kusangka, Bubi tersenyum dan mengangguk tegas.
“Kalau memang itu yang kamu inginkan, aku akan mendukungmu Filo.” Kata Bubi lembut dan membuai.
Aku pun tak mampu menahan air mata, dan cepat-cepat kupeluk Bubi. Kami berpelukan beberapa saat lamanya.
“Kapan kamu mau melakukannya, Filo?” Tanya Bubi tenang namun rapuh.
Aku melepaskan pelukan, dan menggeleng pelan, “Enggak dalam waktu dekat ini.”
Bubi mengangguk lagi dan menatap mataku lekat-lekat. Dan aku membencinya saat ia menatapku seperti itu, seolah ia mengetahui sesuatu yang mungkin aku pun tak tahu. Lalu aku pun cepat-cepat berpaling dan meninggalkannya.
Beberapa hari setelah itu, kehidupan kami kembali normal. Aku tidak tahu kenapa Bubi bisa setenang itu mengabulkan permintaanku. Bubi pun tetap mencintaiku dan tidak bertanya lebih jauh tentang keinginanku itu.
Hanya saja, aku bukan wanita kebanyakan yang mudah luluh. Tiba-tiba kehidupan kami yang serba bahagia ini malah membuatku jengah. Aku tidak tahu bagian mana dari pernikahan kami atau diriku sendiri yang rusak, salah, tidak sempurna, atau bahkan mati.
Sehingga aku seperti menyimpan bom waktu yang kupeluk rapat-rapat namun tak akan segan-segan kulepaskan dan kubiarkan meledak.
Ibu mertuaku mengundang kami makan malam. Dia satu-satunya orang yang sangat tahu bagaimana memicu bom-bom yang ada padaku, dan berharap aku ikut meledak dan hancur bersama bom itu.
“Udah berhenti minum pil belum, Filo?” Tanya ibu mertuaku lembut namun tajam.
Bubi langsung menatap ibunya, “Ma, aku sama Filo kan baru beberapa minggu nikah, biarin kami nikmati dulu masa-masa ini ya, ma?”
Awalnya aku terharu Bubi tampak berusaha melindungiku, hanya saja jawabannya pada ibunya itu, apakah hanya sekedar kata-kata penghibur atau sebenarnya Bubi tak pernah benar-benar mengiyakan permintaanku dan berharap aku akan berubah pikiran suatu hari nanti. Dadaku terasa sesak.
Ibu mertuaku mencibir,”Buat apa nikah kalau emang belum siap punya anak?”
“Bubi dan saya sudah setuju rahim saya akan diangkat.” Jawabku tegas memicu.
PLAK!
Tamparan ibu mertuaku membuat mataku buram oleh air mata. Selanjutnya keadaan menjadi kabur bagiku. Ibu mertuaku terjatuh karena serangan jantung, Bubi menolongnya, dan aku sendiri merasa sangat kesakitan jauh di lubuk hatiku terdalam sekaligus merasa ada sesuatu dalam diriku yang merasa sangat bebas. Aku pun berlari dari semua itu tanpa sempat Bubi menahanku.
Pesona Bali selalu mampu membuatku merasa lebih baik. Namun hanya satu yang bisa menyembuhkanku. Sosok itu.
Bugi.
Dia laki-laki yang sama miripnya dengan Bubi. Hanya saja kegiatan Bugi yang seputar travelling dan adventure membuat Bugi tampak lebih coklat sekaligus lebih gagah dan besar dibandingkan Bubi. Beda umur mereka hanya satu jam. Namun pribadi keduanya sangat bertolak belakang.
“Filo-filo.” Panggil Bugi jenaka namun lembut.
Aku menoleh padanya dan tersenyum, “Kamu menemukanku.”
Lalu aku dan Bugi berciuman hangat dan mesra selama beberapa saat. Ciuman yang tak pernah aku rasakan saat bersama Bubi. Ciuman yang selalu menjadi penghias hidupku sekaligus rahasia terbesarku dari Bubi.
Aku meminum coctail-ku dengan sebal saat Bugi tertawa senang mendengar ceritaku tentang ibu mertuaku yang jantungan karena aku mau mengangkat rahimku.
“Apa kamu benar-benar membenci ibumu sendiri?” Tanyaku merajuk tak manja.
Bugi menggeleng masih sambil tertawa renyah, “Enggak. Aku sudah cari tahu, mama baik-baik aja kok. Cuma syok.”
Mau tak mau aku pun tersenyum. Kami saling bertatapan bahagia. Lalu bagaikan dialog keramat yang harus ada dalam setiap film, Bugi pun mengucapkannya, yang barangkali kali ini sudah keseribu satu.
“Tapi Bubi kehilangan kamu. Dia kebingungan, Filo. Sedih, sangat sedih.” Kata Bugi melayang.
Senyumku menghilang. Adegan berikutnya sungguh bisa tertebak. Bugi mengecupku dengan wajah terluka dan berkata, “Aku akan selalu mencarimu.” Lalu Bugi pergi meninggalkanku.
Dan beberapa saat kemudian, Bubi muncul dan segera memelukku erat-erat.
“Apapun yang terjadi, aku akan selalu mencari dan menemukanmu, Filo.” Desah Bubi.
Kalau saja kamu tahu Bubi, bahwa kamu tak pernah menjadi orang pertama yang menemukanku. [To be continued]
PETAK UMPET [4] >
Posted in CERBER | Leave a reply
PETAK UMPET [2]
Ditulis pada Juli 16, 2010
Kamu orang yang aku inginkan tapi kehidupan kita bukanlah yang aku harapkan akan terjadi dalam hidupku. Aku seperti aktor dengan peran yang tidak tepat dalam sebuah skenario yang indah.
Aku mendengar suara langkah kaki Bubi yang bergegas kesana-kemari untuk mencariku semakin lama semakin menjauh dari tempatku bersembunyi. Kali ini aku memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyianku dan berpura-pura bahwa kali ini memang aku tidak bermaksud bersembunyi.
Langkah Bubi seketika terhenti dan raut mukanya tampak kaget dan heran saat ia melihat aku sedang membuat teh dengan paras muka santai.
“Filo, kamu… Kamu tadi kemana, kok tiba-tiba lari begitu aja? Kupikir kamu sembunyi.” Tanya Bubi gagap namun tegas.
Aku tersenyum dan menyodorkan secangkir teh pada Bubi. Bubi menerimanya, namun matanya masih terus mengawasiku.
“Tadi aku cuma tiba-tiba ngerasa mual jadi aku cepet-cepet ke toilet.” Jawabku santai dengan akting meyakinkan.
Bubi masih memandangku tak percaya sekaligus ada rona khawatir di matanya.
“Mual?” Tanya Bubi singkat penuh harap.
“Bukan mual itu. Aku masih minum pil, Bubi. Mungkin masuk angin.” Sergahku cepat-cepat.
Lalu Bubi mendekatiku dan memelukku erat-erat. Barangkali wanita lain akan merasa bak di langit ke tujuh kalau dipeluk sebegitu hangat oleh pria seperti Bubi, tapi aku merasa kebas.
Bubi lalu berbisik, “Kalau ada apa-apa, kasih tahu aku ya, Filo. Please.”
Aku mengangguk pelan.
Hari pertama memasuki kehidupan pernikahan setelah bulan madu yang membuaiku kulewati dengan gundah. Aku tahu apa yang akan terjadi. Ternyata ini bukan hanya sindrom menjelang hari pernikahan.
Hari kedua terasa melegakan karena Bubi sudah masuk kantor sementara aku masih cuti. Cepat-cepat aku pun bergegas memasukkan beberapa baju termasuk netbook kesayanganku ke dalam tas ransel. Aku ingin pergi ke pantai untuk bercengkerama dengan diriku sendiri.
Tepat disaat aku membuka pintu apartemen, Ibu mertuaku muncul dengan dandanan rapi jali sekaligus mewah dan tentu saja rambut sasak yang menanjak tinggi serta tatap mata tajam.
“Ibu?” Kataku ternganga kaget.
“Kamu enggak persilahkan ibu masuk?” Tanya Ibu mertuaku singkat tak menyenangkan.
Bagai terhipnotis, aku segera membawa ibu mertuaku masuk ke dalam apartemen dan kami pun terjebak dalam pembicaraan empat mata dengan teh panas mengepul percuma karena ibu mertuaku sepertinya lebih tertarik menginterogasiku.
“Kamu mau pergi kemana tadi?” Tanya ibu mertuaku sinis menggelitik.
“Jalan-jalan ke mall.” Jawabku jelas namun tak memuaskan.
“Kayaknya itu bukan kostum kamu ke mall. Omong-omong, kapan kamu mau berhenti minum pil dan punya anak? Ingat, Bubi itu kan anak laki-laki ibu yang paling ibu harapkan.” Tandas ibu mertuaku.
Pagi mendadak menjadi buram dengan suara gemuruh menjengahkan bagiku. Tiba-tiba aku merasa sangat marah dan muak.
“Bu, saya… Saya-“ Lidahku mendadak membatu.
“Ibu tahu kamu itu masih pengin jalan-jalan kesana kemari, potret sana-potret sini, bebas kayak burung, dan selalu sembunyi dari hal-hal penting dalam hidup. Jangan kira ibu enggak tahu siapa kamu yang sebenarnya. Tapi bagaimanapun juga kamu sudah menikah. Bubi sangat mencintai kamu. Dengan begitu, kamu punya tanggung jawab baru, Filo.” Jelas ibu mertuaku panjang lebar namun tak sedikitpun kata-katanya yang ingin kupahami.
Aku hanya bisa menunduk, dan tak lama kemudian ibu mertuaku beranjak pergi.
“Filo, ibu pulang dulu. Ibu tahu, kamu pasti segera ingin runaway, iya kan? Kali ini kamu mau bersembunyi dimana? Huh, Ibu enggak ngerti kenapa Bubi suka dengan permainan kamu ini.” Kata ibu retorik.
Aku terperangah diam, tak menyangka ibu mertuaku sangat mengerti kebiasaanku selama ini.
Lalu selepas ibu mertuaku pergi, hanya satu hal yang ada di benakku.
Bubi pulang dengan muka berseri. Saat yang tepat untuk merusak hidup Bubi seperti ibunya yang dengan kejam memporak-porandakan hariku dan pastinya masa depanku nanti.
“Bubi, aku mau mengangkat rahimku.” Kataku cerah ceria tanpa perasaan. [To be continued]
PETAK UMPET [3] >
Posted in CERBER | Leave a reply
PEREMPUAN NINGRAT [7]
Ditulis pada Juni 29, 2010
Mencintai adalah sebuah pilihan. Pengorbanan adalah ketulusan yang spontan dari konsekuensi mencintai. Apakah aku harus menggadaikan semua itu demi gelarku semata?
Selama satu hari aku memilih tidak keluar dari kamar. Pertanyaan ibu tidak mampu kujawab. Sementara ayah dan ibu tampaknya juga sengaja membiarkanku sendiri. Hingga sore ini, rumah terasa terlalu sepi, tidak seperti biasanya.
Aku keluar dari kamar dan mendapati teras kosong. Tidak ada ayah maupun ibu yang biasanya bersantai dan menikmati teh hangat di kala sore menjelang. Hanya ada bibi yang dengan sigap mendekatiku.
“Non, mau minum teh hangat ya? Bibi buatin ya.” Tanya bibi dengan sopan khas ala pembantu yang tidak hanya bekerja pada ayah dan ibu, namun mengabdi seumur hidup dengan keikhlasan.
Aku tersenyum mengangguk, “Boleh, bi. Terimakasih. Tapi ayah dan ibu kemana ya, bi?”
Bibi tampak salah tingkah dan kemudian menunduk dalam diam. Itu pertanda bibi tidak boleh bilang apapun mengenai kepergian orang tuaku. Aku mengerti.
“Ya udah, bibi bikin teh saja. Saya tunggu di teras ya.” Kataku sabar.
Lalu aku beranjak pergi ke teras.
Selama beberapa jam kemudian sambil menikmati secangkir teh hangat, aku mempertimbangkan untuk memberitahu Rakata Ziyu tentang apa yang terjadi padaku dan keberadaanku sekarang, namun aku ragu. Kubiarkan Rakata Ziyu menunggu penjelasan dariku, penjelasan yang tak mungkin kuberikan saat ini.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Langkah kaki yang selalu terburu-buru namun tidak menjejak mantap. Langkah yang tak asing bagiku.
“Ajeng!” Seru laki-laki itu dengan lantang.
Aku menoleh dan tak salah lagi. Bagas. Ia tersenyum lebar menatapku. Lalu kami berpelukan sekedar sopan santun yang basi.
Bagas tak seperti dulu lagi. Ada sesuatu yang berubah dari dirinya, entah apa itu. 3 tahun kami tidak berjumpa. Ia menikah meninggalkanku, dan sekarang ia sudah bercerai. Begitu yang aku dengar dari pakde Suryo.
“Cepat sekali kamu dengar tentang kepulanganku, atau kamu hanya sekedar mampir secara kebetulan?” Tanyaku ringan namun sinis.
Bagas tergelak,”Kamu masih seperti dulu, jeng. Terlalu kritis dan dingin.”
Aku tersenyum simpul, “Apa kabar kalau begitu?”
Bagas tersenyum senang dengan sedikit keramahan dariku.
“Kamu pasti sudah dengar kalau aku sudah bercerai. Aku duda yang ingin mendapatkan cinta lamaku.” Jawabnya mantap namun gamang.
Aku mengangguk-angguk tidak jelas sambil menyesap tehku.
Tak kusangka, Bagas mendekatiku lalu mencondongkan tubuhnya kearahku, dan menatapku lekat-lekat.
“Ajeng, aku tidak mau banyak berbasa-basi denganmu. Kamu tahu dari dulu pakde Suryo selalu mendukung hubungan kita. Dan kamu sekarang pulang membawa aib. Dengan pernikahan, kita bisa membahagiakan semua pihak, dan aibmu pun akan tertutupi. Bagaimana, jeng?” Tanya Bagas dengan lantang dan lancang.
Aku terkesiap dengan kata-kata Bagas. Entah apakah dulu aku pernah salah menilai dan mencintainya, ataukah perceraian telah mengubahnya dengan telak.
“Lalu bagaimana dengan kebahagiaanku?” Tanyaku tenang.
“Aku tahu kamu selalu mencintaiku bukan? Itulah mengapa kamu akhirnya tidak mau terikat dan memilih menjadi kekasih gelap orang lain?” Jawab Bagas dengan pertanyaan-pertanyaan fantasinya.
Aku berdiri karena tak bisa lagi menahan kesal yang teramat dalam.
“Bagas, aku tahu konsekuensi dari perbuatanku. Aku memilih hidup satu atap dengan laki-laki itu karena aku mencintainya. Buat apa buru-buru menuang komitmen dalam hitam diatas putih kalau akhirnya kamu mengkhianati komitmen itu sendiri dengan perceraian?” Tandasku tajam.
Bagas tak mau kalah. Ia tampak geram.
“Cinta apa yang bisa membuat seseorang mengkhianati ayah ibu dan gelar keningratannya sendiri kalau bukan nafsu semata?” balas Bagas tanpa logika.
“Pengorbanan untuk melepas segala atribut keduniawian untuk cinta itu sendiri.” Jawabku datar namun beringas.
Lalu terdengar suara berdeham ayah di belakang kami. Aku dan Bagas langsung menoleh dan menunduk kearah ayah. Ibu berdiri di belakang ayah.
“Bagas, kalau kamu memang tahu dan mengerti tentang gelar keningratan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, tentunya kamu tahu tata cara melamar seorang wanita berdarah biru bukan?” Tanya ayah tenang dan mengusik.
Bagas tampak salah tingkah dan hanya mampu mengangguk perlahan. Begitulah Bagas. Dia selalu menjadi kesayangan pakde Suryo, namun tak pernah mampu meraih sedikit pun hati ayah.
“Pulanglah.” Kata ayah singkat.
Bagas langsung bergegas pulang.
Lalu ayah mendekatiku dengan air muka yang arif dan bijak.
“Ayah dan ibu baru saja pulang dari Jakarta. Kami sudah bertemu dengan lelaki bernama Rakata Ziyu.” Jelas ayah dengan tenang dan lugas.
Aku hanya bisa menatap ayah. Takjub. [To be continued]
PEREMPUAN NINGRAT [8] >
Posted in CERBER | Leave a reply
PETAK UMPET [1]
Ditulis pada Juni 25, 2010
Setiap kali aku bingung dan tak tentu arah, aku lebih suka bersembunyi. Aku juga suka saat kamu selalu mencariku. Tak perlu menang dan kalah dalam permainan itu, karena aku pun lebih suka saat kamu menemukanku.
Dari balik semak-semak aku bisa melihat raut wajahnya yang tampak tegang dan khawatir. Berulangkali ia lalu lalang di sekitarku, tapi dia tak kunjung melihatku.
Waktu kami masih kecil, aku selalu membiarkan Bubi mencariku sampai berjam-jam lamanya. Aku mungkin curang karena aku pun tak pernah mau menang dalam permainan itu dan merelakan diri untuk akhirnya sengaja membocorkan tempat sembunyiku entah dengan pura-pura berteriak kesakitan atau mematahkan ranting.
Tapi Bubi tak pernah keberatan. Bubi tampak selalu riang dan senang saat menemukanku. Dia akan memelukku erat-erat sambil berteriak kegirangan seolah aku harta karun. Esoknya dia pun akan mengajakku bermain lagi.
Hingga hari ini. Hanya satu hari sebelum kami menikah. Aku memilih bersembunyi. Menghilang dari riuh rendah persiapan pesta pernikahan kami.
Harusnya aku merasa bahagia. Bubi tumbuh menjadi seorang pria tampan dengan bisnis yang maju pesat. Tapi Bubi tak pernah berubah. Bubi selalu ceria, optimis dan sangat mampu membuat hidupku terasa lebih hidup dengan kelucuan dan kesederhanaannya. Karpet merah terbentang luas di hadapanku. Laki-laki hebat itu pun akan jadi milikku selamanya.
Namun, tiba-tiba perasaanku mengharu biru. Kali ini rasanya aku ingin bersembunyi selamanya, membiarkan Bubi lelah mencariku dan kemudian meninggalkanku saja.
Tak sadar aku terisak dan menggigil di balik semak. Lalu wajah itu muncul dihadapanku. Bubi.
Kali ini tak ada tawa riang atau sorak sorai saat Bubi menemukanku. Bubi pun segera memelukku erat-erat. Selama beberapa saat kami menikmati kesunyian yang bergemuruh.
Lalu pelan-pelan kulepaskan pelukan Bubi. Kami bertatapan. Mataku basah namun matanya yang kering tampak terlihat lebih sedih.
“Bubi, aku enggak pengin kamu nemuin aku. Tadi aku gak sadar kalau nangis-“ Cerocosku lugu tanpa simpati.
“Ssstt… Kamu gak usah jelasin, aku tahu.” Potong Bubi tegas namun menenangkan.
Lalu Bubi menarikku dan membawaku ke sebuah bangku di taman. Selama beberapa saat Bubi menungguku sampai air mataku mengering.
“Filo, kamu kenapa?” Tanya Bubi lembut.
Aku menatap mata Bubi lekat-lekat. Bubi memberiku tatapan meneduhkan dengan bola matanya yang biru jernih.
“Bubi, kalau aku ternyata enggak bisa jadi seseorang yang kamu harapkan di kehidupan pernikahan kita nanti gimana?” Tanyaku lugas dengan ragu mendera.
Bubi mengusap pipiku dan tersenyum.
“Aku tidak pernah mengharapkan apapun darimu. Kamu berada di sisiku itu sudah lebih dari cukup buatku, Filo.” Jawab Bubi tenang.
“Bubi, selama ini tiap kali aku bersembunyi, kamu selalu menemukanku. Tapi aku merasa ada beberapa bagian diriku yang masih bersembunyi. Dan aku enggak yakin kamu akan berbahagia saat menemukannya.” Ungkapku sambil menunduk dalam-dalam.
“Apapun itu, ijinkan aku untuk mencari dan menemukannya, Filo. Lalu biarkan aku mengajakmu untuk terus bermain sepanjang hidup kita.” Kata Bubi dengan sangat lembut.
Kami pun lalu berpelukan sangat lama. Air mata menetes lagi di pipiku. Bubi memang selalu bisa mengurai kegelisahanku dan menjahit segala keraguan hingga tertutup rapi. Tapi ada sesuatu yang tertinggal dalam benakku, yang tak tersentuh Bubi, dan aku pun belum tahu apakah itu.
JUST MARRIED.
Begitulah plat mobil yang membawa aku dan Bubi dari gedung resepsi menuju bandara.
Satu peristiwa besar dalam hidup terlewati. Riang rasanya hatiku saat senyum bahagia orang-orang yang kami sayangi mengiringi aku dan Bubi dalam pernikahan kami. Bubi juga tampak sangat bahagia.
Bulan madu ke London pun membuat awal kehidupan pernikahan kami menjadi sangat sempurna. Selintas semuanya tampak baik-baik saja. Tidak ada keraguan atau kegalauan yang muncul sedetik pun dalam benakku. Barangkali benar kata orang tua, saat menjelang pernikahan, kita akan menjumpai saat-saat ragu yang menguji hati.
Sesampainya di rumah baru kami, tumpukan kado warna-warni makin membuai hati dengan segala kemanisan aroma pernikahan.
Satu per satu kami buka kado itu.
“Wow, nampan kristal?! Today and still nampan?!” Teriak Bubi takjub.
Aku tertawa, “Jangan gitu dong, Bubi. Mungkin mereka kira kita akan sibuk bermesraan terus sampai lupa beli nampan.”
Bubi tertawa juga sambil mengangkat bahu dan geleng-geleng kepala. Lalu ia meraih kado lain lagi. Sementara aku selesai membuka satu buah kado dan aku mematung sambil menatap nanar isi kado itu.
Diary sekaligus album untuk mencatat perkembangan bayi.
Bubi melihat isi kado itu dan tampak excited. Lalu ia pun segera meraih diary album itu dan membuka-bukanya dengan senang.
“Bubi dan Filo kecil, lucu pasti!” Teriak Bubi senang.
Aku memalingkan muka dan beranjak pergi cepat-cepat. Bubi tampak kaget dan segera mengejarku. Sebelum Bubi melihatku, aku segera menyelinap masuk ke ruang kecil di bawah tangga. [To be continued]
PETAK UMPET [2] >
Posted in CERBER | Leave a reply
PEREMPUAN NINGRAT [6]
Ditulis pada Juni 25, 2010
Aku ditelanjangi dan dicaci maki karena telah menyimpan rahasia kehidupan pribadiku yang tak sengaja terlontar dalam ruang publik. Apakah darah biruku meluntur seiring air mataku?
Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Raden Mas Suryo yang adalah kakak tertua ayahku di klub malam yang mewah ini. Namun, beliau lebih tak menduga akan melihatku di tempat ini.
Belum sempat pakde Suryo menjawab pertanyaanku, tiba-tiba seorang wanita jet set, lengkap dengan perhiasan bertatahkan berlian dan kecantikan yang memukai, menghampiriku dengan tatap mata yang tajam menghunjam.
“Hai, Ajeng. I’m Nancy.” Katanya sambil melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Hai.” Jawabku singkat.
“Not too bad. Tapi saya masih gak bisa ngerti kenapa Rakata Ziyu memilih kamu jadi satu-satunya selir terhormat di rumahnya.” Kata Nancy tenang namun riuh.
Perkataan Nancy sebenarnya sudah sering kudengar mengingat banyak wanita yang menginginkan posisiku demi memiliki Rakata Ziyu siang dan malam pun tiap hari. Hanya saja, semua ini terasa pedas dan panas saat terucapkan di depan pakde Suryo.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba mulutku mengatup kuat tatkala hati ingin berteriak.
“Apa benar itu, jeng?” Tanya pakde Suryo datar namun menjengahkan.
Nancy membutuhkan pukulan telak tepat di saat pakde Suryo menuntut jawaban jujur. Akhirnya, aku angkat kepalaku dan mencoba tersenyum walau pilu.
“Mungkin saya wanita biasa. Tapi pastinya saya bukan orang sembarangan sehingga Rakata Ziyu memilih saya sebagai teman hidupnya.” Jawabku singkat, memukau di mata Nancy, tapi menyedihkan bagi pakde Suryo.
Nancy hanya tersenyum sinis lalu berlalu pergi. Sementara pakde Suryo langsung menarikku keluar dari klub mewah itu. Rakata Ziyu melihatku sekilas, kami bertatapan, namun Rakata Ziyu gagal mengejarku.
Pakde Suryo lebih tangkas dan sigap untuk memasukkanku ke dalam mobilnya, dan sopirnya pun segera melajukan mobil dengan cepat.
Hanya dalam hitungan jam aku sudah berada di ruang tengah rumah ayahku di Jogja. Ada ayah dan ibu yang sedang mencermati laporan pakde Suryo tentangku, dan aku yang tak mampu menangis ataupun marah dengan handphone yang berulang kali bergetar karena Rakata Ziyu terus menerus mencoba menghubungiku.
“Anakmu itu malam-malam masih berkeliaran di klub malam yang barusan aku beli! Udah gitu ternyata dia jadi gundiknya orang kaya di Jakarta! Apa aku enggak malu? Coba mau ditaruh dimana harkat dan martabatku?”
Ayah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tenang namun ayah selalu memalingkan muka saat kami tak sengaja bertatapan. Sementara ibu melihatku dengan wajah khawatir.
“Dan parahnya lagi, anakmu itu bangga! Bangga jadi gundiknya orang! Kamu itu bagaimana sih mendidik anak kok jadinya seperti itu?” Kata pakde Suryo lantang dan lugas.
Begitulah pakde Suryo, pria ningrat berkedudukan tinggi yang selalu pintar menghakimi orang lain, sementara sudah menjadi rahasia umum kalau moral pakde Suryoku ini bejat. Rakata Ziyu jauh berbeda dengannya.
“Kok kamu malah diam saja?! Anakmu itu kamu suruh pulang dan hidup disini saja, terus kamu nikahkan saja dia! Daripada di rantau cuman bikin aib keluarga!” Tegas pakde Suryo.
Lalu ayah berdeham dan menatap tajam dan lekat kearah pakde Suryo.
“Kalau kamu tahu klub malam itu tempat yang enggak baik, kenapa kamu malah membeli klub malam itu?” Tanya ayahku penuh penekanan.
Pakde Suryo kaget karena tanggapan ayah tak sesuai dugaannya.
“Kamu enggak mau keponakan kamu ini tahu belangmu?” Tanya ayah lagi kali ini dengan garang.
“Lhoh kok jadi aku yang kamu serang? Kamu tadi nyimak yang aku bilang enggak to?” Sergah Pakde Suryo cepat-cepat.
Pakde Suryo dan ayah pun saling bertatapan marah. Ibu segera tersenyum khas ala priyayi darah biru dan berkata-kata dengan merdu seolah menembangkan sebuah lagu.
“Pakde Suryo, kami berterimakasih pakde sudah menjaga Ajeng. Selanjutnya biar kami saja yang mengurusnya. Bukan apa-apa, tapi kami tahu pakde Suryo pasti sibuk dengan bisnis klub malam pakde.” Kata ibu lembut menusuk.
Pakde Suryo tampak makin berang. Namun senyuman ibu seolah menghipnotisnya, sehingga pakde Suryo pun tanpa bicara lagi segera angkat kaki.
Lalu ayah pun segera beranjak pergi menuju kamarnya tanpa melihat kearahku sedikitpun. Ibu menyusulnya, namun aku segera meraih tangan ibu. Ibu berhenti dan menoleh padaku. Air mukanya tak terbaca.
“Ibu, maafkan aku.” Kataku lirih.
“Kenapa ibu harus memaafkan kamu?” Tanya ibuku tegas namun sangat menyentuh hati.
Ibu menatapku dengan pandangan bertanya. Kami bertatapan lama. Air mataku pun meluruh. [To be continued]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar