Kamis, 17 Maret 2011
I. FRAKTUR FEMUR
II. DEFENISI
Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.
III.
IV. FISIOLOGI / ANATOMI
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
V.
VI. KLASIFIKASI
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
• Melalui kepala femur (capital fraktur)
• Hanya di bawah kepala femur
• Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
• Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
• Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter kecil.
VII. PATOFISIOLOGI
A. PENYEBAB FRAKTUR ADALAH TRAUMA
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa
yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :
• Osteoporosis Imperfekta
• Osteoporosis
• Penyakit metabolik
1. TRAUMA
Dibagi menjadi dua, yaitu :
Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.
TANDA DAN GEJALA
• Nyeri hebat di tempat fraktur
• Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
• Rotasi luar dari kaki lebih pendek
• Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
PENATALAKSANAAN MEDIK
• X.Ray
• Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
• Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
• CCT kalau banyak kerusakan otot.
TRAKSI
Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.
Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas
untuk 4 minggu dan beban < 5 kg.
Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.
Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.
KEGUNAAN PEMASANGAN TRAKSI
Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
• Mengurangi nyeri akibat spasme otot
• Memperbaiki dan mencegah deformitas
• Immobilisasi
• Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
• Mengencangkan pada perlekatannya.
MACAM - MACAM TRAKSI
Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.
Traksi Ekstension (Buck’s Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.
Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.
Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
Traksi khusus untuk anak-anak
Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
KASUS
Saudara adalah seorang perawat di ruang bedah yang diberi tanggung jawab untuk memberikan asuhan keperawatan kepada Tn. Muria, usia 40 tahun dengan fraktur femur kanan 1/3 distal comunited. Saat ini pasien masih menggunakan Back slab sambil menunggu jadwal operasi untuk tandur (cangkok) tulang dan pemasangan eksterna traksi.
Dari balutan yang ada pada Back slab merembes darah cukup banyak, pasien mengeluh nyeri berat. Pasien semenjak kecelakaan 24 jam yang lalu tidak bisa tidur karena menahan nyeri. Ibu jari dan jari-jari kaki kanan terasa baal.
SOAL : Buatlah rencana asuhan keperawatan disertai rasionalisasinya !
JAWAB:
RENCANA KEPERAWATAN
Prioritas Masalah
• Mengatasi perdarahan
• Mengatasi nyeri
• Mencegah komplikasi
• Memberi informasi tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONALISASI
1.
Potensial terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
INDENPENDEN:
a) Observasi tanda-tanda vital.
b) Mengkaji sumber, lokasi, dan banyak- nya per darahan
c) Memberikan posisi supinasi
d) Memberikan banyak cairan (minum)
KOLABORASI:
e) Pemberian cairan per infus
f) Pemberian obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan peng- hentian perdarahan dgn fiksasi.
g) Pemeriksaan laborato- rium (Hb, Ht)
a) Untuk mengetahui tanda-tanda syok se- dini mungkin
b) Untuk menentukan tindak an
c) Untuk mengurangi per darahan dan men- cegah kekurangan darah ke otak.
d) Untuk mencegah ke- kurangan cairan
(mengganti cairan yang hilang)
e) Pemberian cairan per-infus.
f) Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan perda-rahan.
g) Untuk mengetahui ka-dar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.
2.
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas
INDEPENDEN:
a) Mengkaji karakteris- tik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan meng- gunakan skala nyeri (0-10)
b) Mempertahankan im- mobilisasi (back slab)
c) Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
d) Menjelaskan seluruh prosedur di atas
KOLABORASI:
e) Pemberian obat-obatan analgesik
a) Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat me- nentukan jenis tindak annya.
b) Mencegah pergeser- an tulang dan pe- nekanan pada jaring- an yang luka.
c) Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan me- ngurangi nyeri.
d) Untuk mempersiap- kan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.
e) Mengurangi rasa nyeri
3.
Potensial infeksi se- hubungan dengan luka terbuka.
INDEPENDEN:
a) Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap ada- nya: edema, rubor, kalor, dolor, fungsi laesa.
b) Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.
c) Merawat luka dengan menggunakan tehnik aseptik
d) Mewaspadai adanya keluhan nyeri men- dadak, keterbatasan gerak, edema lokal, eritema pada daerah luka.
KOLABORASI:
e) Pemeriksaan darah : leokosit
f) Pemberian obat-obatan :
antibiotika dan TT (Toksoid Tetanus)
g) Persiapan untuk operasi sesuai indikasi
a) Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.
b) Meminimalkan terjadinya kontaminasi.
c) Mencegah kontami- nasi dan kemungkin- an infeksi silang.
d) Merupakan indikasi adanya osteomilitis.
e) Lekosit yang me- ningkat artinya sudah terjadi proses infeksi
f) Untuk mencegah ke- lanjutan terjadinya infeksi. dan pencegah an tetanus.
g) Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan penyegahan peningkatan infeksi.
4.
Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri, immobilisasi.
INDEPENDEN:
a) Kaji tingkat im- mobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang immobilisasi ter- sebut.
b) Mendorong parti- sipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca kora, dll ).
c) Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang tidak.
d) Membantu pasien dalam perawatan diri
e) Auskultasi bising usus, monitor kebiasa an eliminasi dan menganjurkan agar b.a.b. teratur.
f) Memberikan diit tinggi protein , vitamin , dan mi- neral.
KOLABORASI :
g) Konsul dengan bagi- an fisioterapi
a) Pasien akan mem- batasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak pro- posional)
b) Memberikan ke- sempatan untuk me- ngeluarkan energi, memusatkan per- hatian, meningkatkan perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam mengurangi isolasi sosial.
c) Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk me- ningkatkan tonus otot, mempertahankan mobilitas sendi, men- cegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.
d) Meningkatkan ke- kuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam me- ngontrol situasi, me- ningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.
e) Bedrest, penggunaan analgetika dan pe- rubahan diit dapat menyebabkan penurunan peristaltik usus dan konstipasi.
f) Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi biasanya terjadi penurunan BB (20 - 30 lb).
Catatan : Untuk sudah dilakukan traksi.
g) Untuk menentukan program latihan.
5.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in- formasi.
INDEPENDEN:
a) Menjelaskan tentang kelainan yang muncul prognosa, dan harap- an yang akan datang.
b) Memberikan dukung an cara-cara mobili- sasi dan ambulasi sebagaimana yang dianjurkan oleh bagi- an fisioterapi.
c) Memilah-milah aktif- itas yang bisa mandiri dan yang harus dibantu.
d) Mengidentifikasi pe- layanan umum yang tersedia seperti team rehabilitasi, perawat keluarga (home care)
e) Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.
a) Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat menentu kan pilihan.
b) Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses pe- nyembuhan sehingga keterlambatan pe- nyembuhan disebab- kan oleh penggunaan alat bantu yang kurang tepat.
c) Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu menolongnya. (apakah fisioterapi, perawat atau ke- luarga).
d) Membantu meng- fasilitaskan perawa- tan mandiri memberi support untuk man- diri.
e) Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien koopratif.
VIII. FRAKTUR FEMUR
IX. DEFINISI
Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.
X.
XI. FISIOLOGI / ANATOMI
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
XII.
XIII. KLASIFIKASI
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
• Melalui kepala femur (capital fraktur)
• Hanya di bawah kepala femur
• Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
• Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil/pada daerah intertrokhanter.
• Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter kecil.
XIV. PATOFISIOLOGI
B. PENYEBAB FRAKTUR ADALAH TRAUMA
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma yang disebabkan oleh suatu proses, yaitu :
• Osteoporosis Imperfekta
• Osteoporosis
• Penyakit metabolik
2. TRAUMA
Dibagi menjadi dua, yaitu :
Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.
TANDA DAN GEJALA
• Nyeri hebat di tempat fraktur
• Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
• Rotasi luar dari kaki lebih pendek
• Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
PENATALAKSANAAN MEDIK
• X.Ray
• Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
• Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
• CCT kalau banyak kerusakan otot.
TRAKSI
Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.
Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas
untuk 4 minggu dan beban < 5 kg.
Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.
Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.
KEGUNAAN PEMASANGAN TRAKSI
Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
• Mengurangi nyeri akibat spasme otot
• Memperbaiki dan mencegah deformitas
• Immobilisasi
• Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
• Mengencangkan pada perlekatannya.
MACAM - MACAM TRAKSI
Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.
Traksi Ekstension (Buck’s Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.
Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.
Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
Traksi khusus untuk anak-anak
Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.
PENGKAJIAN
1. Riwayat keperawatan
a. Riwayat Perjalanan penyakit
- Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan
- Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma
- Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
- Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
- Kehilangan fungsi
- Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
- Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid dalam jangka waktu lama
- Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada wanita
- Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
- Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Proses pertolongan pertama yang dilakukan
- Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan gerakan diatas/di bawah tulang yang fraktur sebelum dipindahkan
- Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema
2. Pemeriksaan fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkena
- Deformitas yang nampak jelas
- Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
- Laserasi
- Perubahan warna kulit
- Kehilangan fungsi daerah yang cidera
c. Palpasi
- Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
- Krepitasi
- Nadi, dingin
- Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
KASUS
Saudara adalah seorang perawat di ruang bedah yang diberi tanggung jawab untuk memberikan asuhan keperawatan kepada Tn. Muria, usia 40 tahun dengan fraktur femur kanan 1/3 distal comunited. Saat ini pasien masih menggunakan Back slab sambil menunggu jadwal operasi untuk tandur (cangkok) tulang dan pemasangan eksterna traksi.
Dari balutan yang ada pada Back slab merembes darah cukup banyak, pasien mengeluh nyeri berat. Pasien semenjak kecelakaan 24 jam yang lalu tidak bisa tidur karena menahan nyeri. Ibu jari dan jari-jari kaki kanan terasa baal.
SOAL : Buatlah rencana asuhan keperawatan disertai rasionalisasinya !
JAWAB:
RENCANA KEPERAWATAN
Prioritas Masalah
• Mengatasi perdarahan
• Mengatasi nyeri
• Mencegah komplikasi
• Memberi informasi tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONALISASI
1.
Potensial terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
INDENPENDEN:
a) Observasi tanda-tanda vital.
b) Mengkaji sumber, lokasi, dan banyak- nya per darahan
c) Memberikan posisi supinasi
d) Memberikan banyak cairan (minum)
KOLABORASI:
e) Pemberian cairan per infus
f) Pemberian obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan peng- hentian perdarahan dgn fiksasi.
g) Pemeriksaan laborato- rium (Hb, Ht)
a) Untuk mengetahui tanda-tanda syok se- dini mungkin
b) Untuk menentukan tindak an
c) Untuk mengurangi per darahan dan men- cegah kekurangan darah ke otak.
d) Untuk mencegah ke- kurangan cairan
(mengganti cairan yang hilang)
e) Pemberian cairan per-infus.
f) Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan perda-rahan.
g) Untuk mengetahui ka-dar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.
2.
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas
INDEPENDEN:
a) Mengkaji karakteris- tik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan meng- gunakan skala nyeri (0-10)
b) Mempertahankan im- mobilisasi (back slab)
c) Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
d) Menjelaskan seluruh prosedur di atas
KOLABORASI:
e) Pemberian obat-obatan analgesik
a) Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat me- nentukan jenis tindak annya.
b) Mencegah pergeser- an tulang dan pe- nekanan pada jaring- an yang luka.
c) Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan me- ngurangi nyeri.
d) Untuk mempersiap- kan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.
e) Mengurangi rasa nyeri
3.
Potensial infeksi se- hubungan dengan luka terbuka.
INDEPENDEN:
a) Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap ada- nya: edema, rubor, kalor, dolor, fungsi laesa.
b) Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.
c) Merawat luka dengan menggunakan tehnik aseptik
d) Mewaspadai adanya keluhan nyeri men- dadak, keterbatasan gerak, edema lokal, eritema pada daerah luka.
KOLABORASI:
e) Pemeriksaan darah : leokosit
f) Pemberian obat-obatan :
antibiotika dan TT (Toksoid Tetanus)
g) Persiapan untuk operasi sesuai indikasi
a) Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.
b) Meminimalkan terjadinya kontaminasi.
c) Mencegah kontami- nasi dan kemungkin- an infeksi silang.
d) Merupakan indikasi adanya osteomilitis.
e) Lekosit yang me- ningkat artinya sudah terjadi proses infeksi
f) Untuk mencegah ke- lanjutan terjadinya infeksi. dan pencegah an tetanus.
g) Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan penyegahan peningkatan infeksi.
4.
Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri, immobilisasi.
INDEPENDEN:
a) Kaji tingkat im- mobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang immobilisasi ter- sebut.
b) Mendorong parti- sipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca kora, dll ).
c) Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang tidak.
d) Membantu pasien dalam perawatan diri
e) Auskultasi bising usus, monitor kebiasa an eliminasi dan menganjurkan agar b.a.b. teratur.
f) Memberikan diit tinggi protein , vitamin , dan mi- neral.
KOLABORASI :
g) Konsul dengan bagi- an fisioterapi
a) Pasien akan mem- batasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak pro- posional)
b) Memberikan ke- sempatan untuk me- ngeluarkan energi, memusatkan per- hatian, meningkatkan perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam mengurangi isolasi sosial.
c) Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk me- ningkatkan tonus otot, mempertahankan mobilitas sendi, men- cegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.
d) Meningkatkan ke- kuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam me- ngontrol situasi, me- ningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.
e) Bedrest, penggunaan analgetika dan pe- rubahan diit dapat menyebabkan penurunan peristaltik usus dan konstipasi.
f) Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi biasanya terjadi penurunan BB (20 - 30 lb).
Catatan : Untuk sudah dilakukan traksi.
g) Untuk menentukan program latihan.
5.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in- formasi.
INDEPENDEN:
a) Menjelaskan tentang kelainan yang muncul prognosa, dan harap- an yang akan datang.
b) Memberikan dukung an cara-cara mobili- sasi dan ambulasi sebagaimana yang dianjurkan oleh bagi- an fisioterapi.
c) Memilah-milah aktif- itas yang bisa mandiri dan yang harus dibantu.
d) Mengidentifikasi pe- layanan umum yang tersedia seperti team rehabilitasi, perawat keluarga (home care)
e) Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.
a) Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat menentu kan pilihan.
b) Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses pe- nyembuhan sehingga keterlambatan pe- nyembuhan disebab- kan oleh penggunaan alat bantu yang kurang tepat.
c) Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu menolongnya. (apakah fisioterapi, perawat atau ke- luarga).
d) Membantu meng- fasilitaskan perawa- tan mandiri memberi support untuk man- diri.
e) Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien koopratif.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Sabtu, 25 September 2010
1.1 PENGERTIAN
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
:
Kesehatan jiwa meliputi
· Bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri
· Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain
· Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda Sehari - hari.
Beberapa pengertian manusia:
* Individu yang holistik: terdiri dari jasmani dan ‘rohani’.
* Terdiri dari komponen jasmani, akal, jiwa dan qalbu (ruh)
* Struktur jiwa manusia terdiri dari id (insting-prinsip kepuasan), ego (kesadaran realitas-prinsip realitas), super ego/ moralitas-prinsip moralitas (Teori Freud)
________________________________________________________________
1.2 KRITERIA SEHAT MENTAL MENURUT YAHODA
* Sikap positif terhadap diri sendiri
* Tumbuh, berkembang dan aktualisasi
* Integrasi : Masa lalu dan sekarang
* Otonomi dalam pengambilan kupusan
* Persepsi sesuai kenyataan
* Menguasai lingkungan : mampu beradaptasi
___________________________________________________________
1.3 RENTANG SEHAT JIWA
1. Dinamis bukan titik statis
2. Rentang dimulai dari sehat optimal – mati
3. Ada tahap-tahap
4. Adanya variasi tiap individu
5. Menggambarkan kemampuan adaptasi
6. Berfungsi secara efektif : sehat
_____________________________________________________
1.4 PENGERTIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
a. Menurut American Nurses Associations (ANA)
Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (American Nurses Associations).
b. Menurut WHO
Kes. Jiwa bukan hanya suatu keadaan tdk ganguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yg adalah perawatan langsung, komunikasi dan management, bersifat positif yg menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yg mencerminkan kedewasaan kepribadian yg bersangkutan.
c. Menurut UU KES. JIWA NO 03 THN 1966
Kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual emosional secara optimal dari seseorang dan perkebangan ini selaras dgn orang lain.
Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa ( komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa ) melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu, keluarga, kelompok komunitas ).
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh sebagai manusia.
Prinsip keperawatan jiwa terdiri dari empat komponen yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan.
* Manusia
Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai kebutuhan dasar yang sama dan penting. Setiap individu mempunyai harga diri dan martabat. Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk berubah dan keinginan untuk mengejar tujuan personal. Setiap individu mempunyai kapasitas koping yang bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana perilaku tersebut meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.
* Lingkungan
Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dirinya dan lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi koping yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang dikembangkan dapat menghasilkan perubahan diri individu.
* Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan salah satu segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap individu mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama melalui perawatan yang adekuat.
* Keperawatan
Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan menggunakan diri sendiri secara terapeutik.
Metodologi dalam keperawatan jiwa adalah menggunakan diri sendiri secara terapeutik dan interaksinya interpersonal dengan menyadari diri sendiri, lingkungan, dan interaksinya dengan lingkungan. Kesadaran ini merupakan dasar untuk perubahan. Klien bertambah sadar akan diri dan situasinya, sehingga lebih akurat mengidentifikasi kebutuhan dan masalah serta memilih cara yang sehat untuk mengatasinya. Perawat memberi stimulus yang konstruktif sehingga akhirnya klien belajar cara penanganan masalah yang merupakan modal dasar dalam menghadapi berbagai masalah.
Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal ( Carpenito, 1989 dikutip oleh Keliat,1991).
Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut, yaitu proses keperawatan. Penggunaan proses keperawatan membantu perawat dalam melakukan praktik keperawatan, menyelesaikan masalah keperawatan klien, atau memenuhi kebutuhan klien secara ilmiah, logis, sistematis, dan terorganisasi. Pada dasarnya, proses keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaian masalah (Problem solving).
Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu pelayanan keperawatan menjadi optimal. Kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi, diprioritaskan untuk dipenuhi, serta diselesaikan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin, intuisis, dan tidak unik bagi individu klien. Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik, saling bergantung, luwes, dan terbuka. Setiap tahap dapat diperbaharui jika keadaan klien klien berubah.
Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling bergantung. Diagnosis keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika data pengkajian belum ada. Proses keperawatan merupakan sarana / wahana kerja sama perawat dan klien. Umumnya, pada tahap awal peran perawat lebih besar dari peran klien, namun pada proses sampai akhir diharapkan sebaliknya peran klien lebih besar daripada perawat sehingga kemandirian klien dapat tercapai. Kemandirian klien merawat diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan / atau masalah teratasi.
Manfaat Proses Keperawatan Bagi Perawat.
a. Peningkatan otonomi, percaya diri dalam memberikan asuhan keperawatan.
b. Tersedia pola pikir/ kerja yang logis, ilmiah, sistematis, dan terorganisasi.
c. Pendokumentasian dalam proses keperawatan memperlihatkan bahwa perawat bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
d. Peningkatan kepuasan kerja.
e. Sarana/wahana desimasi IPTEK keperawatan.
f. Pengembangan karier, melalui pola pikir penelitian.
Bagi Klien
a. Asuhan yang diterima bermutu dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Partisipasi meningkat dalam menuju perawatan mandiri (independen care).
c. Terhindar dari malpraktik.
Keperawatan Jiwa merupakan suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya. Praktik keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan lingkungan. Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu-ilmu psikososial, biofisik, teori-teori kepribadian dan perilaku manusia untuk menurunkan suatu kerangka kerja teoritik yang menjadi landasan praktik keperawatan.
Kesehatan jiwa merupakan kondisi yang memfasilitasi secara optimal dan selaras dengan orang lain, sehingga tercapai kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan, keharmonisan fungsi jiwa, yaitu sanggup menghadapi problem yang biasa terjadi dan merasa bahagia. Sehat secara utuh mencakup aspek fisik, mental, sosial, dan pribadi yang dapat dijelaskan sebagi berikut.Kesehatan fisik, yaitu proses fungsi fisik dan fungsi fisiologis, kepadanan, dan efisiensinya.
Indikator sehat fisik yang paling minimal adalah tidak ada disfungsi, dengan indikator lain (mis. tekanan darah, kadar kolesterol, denyut nadi dan jantung, dan kadar karbon monoksida) biasa digunakan untuk menilai berbagai derajat kesehatan.Kesehatan mental/psikologis/jiwa, yaitu secara primer tentang perasaan sejahtera secara subjektif, suatu penilaian diri tentang perasaan seseorang, mencakup area seperti konsep diri tentang kemampuan seseorang, kebugaran dan energi, perasaan sejahtera, dan kemampuan pengendalian diri internal, indikator mengenai keadaan sehat mental/psikologis/jiwa yang minimal adalah tidak merasa tertekan/ depresi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, dan sosial individu secara optimal, dan selaras dengan perkembangan dengan orang lain.
Kesehatan sosial, yaitu aktivitas sosial seseorang. Kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas, berperan, dan belajar berbagai keterampilan untuk berfungsi secara adaptif di dalam masyarakat. Indikator mengenai status sehat sosial yang minimal adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas dan keterampilan dasar yang sesuai dengan peran seseorang.
Kesehatan pribadi adalah suatu keadaan yang melampaui berfungsinya secara efektif dan adekuat dari ketiga aspek tersebut di atas, menekankan pada kemungkinan kemampuan, sumber daya, bakat dan talenta internal seseorang, yang mungkin tidak dapat/ akan ditampilkan dalam suasana kehidupan sehari-hari yang biasa.
Menurut pedoman asuhan keperawatan jiwa rumah sakit umum atau pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sehat pribadi berarti bahwa di dalam diri seseorang terdapat potensi dan kemampuan untuk memenuhi dan menyelesaikan dimensi lain dari dirinya, hal yang tidak bersifat instrumental, dan yang memungkinkan perkembangan optimal seseorang. Indikator minimal dari kesehatan pribadi adalah ada minat yang nyata terhadap aktivitas dan pengalaman yang memungkinkan seseorang untuk menembus keadaan “status quo”.
Psikiatri dan kesehatan jiwa Indonesia menggunakan pendekatan elektik-holistik yang melihat manusia dan perilakunya baik dalam keadaan sehat maupun sakit, sebagai kesatuan yang utuh dari unsur-unsur organo-biologis (bio-sistem), psiko edukatif/ psikodinamik (psiko-sistem), dan sosio-kultural (sosio-sistem).
Pendekatan ini berarti bahwa kita harus dapat melihat kondisi manusia dan perilakunya, baik dalam kondisi sehat maupun sakit, secara terinci “detail” dalam ketiga aspek tersebut di atas (ekletik), tetapi menyadari bahwa ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai satu sistem (holistik).
Jadi jelas dengan pendekatan ini kita memperhatikan faktor psikologis dan sosial atau psikososial di samping faktor biologis di dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Proses keperawatan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehaan jiwa mungkin tidak dapat dilihat langsung, saperti pada masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan bermacam gejala dan disebabkan berbagai hal. Kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin muncul gejala yang berbeda dan kontradiksi. Kemampuan mereka untuk berperan dalam menyelesaikan masalah juga bervariasi.
Hubungan saling percaya antara perawat dan klien merupakan dasar utama dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa. Hal ini penting karena peran perawat dalam asuhan keperawatan jiwa adalah membantu klien untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Klien mungkin menghindar atau menolak berperan serta dan perawat mungkin cenderung membiarkan, khususnya terhadap klien yang tidak menimbulkan keributan dan tidak membahayakan.
Hal itu harus dihindari karena :
* Belajar menyelesaikan masalah akan lebih efektif jika klien ikut berperan serta.
* Dengan menyertakan klien maka pemulihan kemampuan klien dalam mengendalikan kehidupannya lebih mungkin tercapai.
* Dengan berperan serta maka klien belajar bertanggung jawab terhadap pelakunya.
Peran dan Fungsi Perawat Jiwa Defenisi dan Uraian Keperawatan Jiwa
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. ANA mendefiniskan keperawatan kesehatan jiwa sebagai Suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan pengunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya. Praktik kontemporer keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan lingkungan.
Peran keperawatan jiwa profesional berkembang secara kompleks dari elemen historis aslinya. Peran tersebut kini mencakup dimensi kompetensi klinis, advokasi pasien-keluarga, tanggung jawab fiskal, kolaborasi antardisiplin, akuntabilitas sosial, dan parameter legal-etik.
Center for Mental Health Services secara resmi mengakui keperawatan kesehatan jiwa sebagai salah satu dari lima inti disiplin kesehatan jiwa. Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu psikososial, biofisik,, teori kepribadian, dan perilaku manusia untuk mendapatkan suatu kerangka berpikir teoritis yang mendasari praktik keperawatan.
Berikut ini adalah dua tingkat praktik keperawatan klinis kesehatan jiwa yang telah diidentifikasi.
1. Psychiatric-mental health registered nurse (RN)
adalah perawat terdaftar berlisensi yang menunjukkan keterampilan klinis dalam keperawatan kesehatan jiwa melebihi keterampilan perawat baru di lapangan. Sertifikasi adalah proses formal untuk mengakui bidang keahlian klinis perawat.
2. Advanced practice registered nurse ini psychiatric-mental health (APRN-PMH)
adalah perawat terdaftar berlisensi yang minimal berpendidikan tingkat master, memiliki pengetahuan mendalam tentang teori keperawatan jiwa, membimbing praktik klinis, dan memiliki kompetensi keterampilan keperawatan jiwa lanjutan. Perawat kesehatan jiwa pada praktik lanjutan dipersiapkan untuk memiliki gelar master dan doktor dalam bidang keperawatan atau bidang lain yang berhubungan.
3. Rentang Asuhan Tatanan Tradisional
Untuk perawat jiwa meliputi fasilitas psikiatri, pusat kesehatan jiwa masyarakat, unit psikitari di rumah sakit umum, fasilitas residential, dan praktik pribadi. Namun, dengan adanya reformasi perawatan kesehatan, timbul suatu tatanan alternatif sepanjang rentang asuhan bagi perawat jiwa.
Banyak rumah sakit secara spesifik berubah bentuk menjadi sistem klinis terintegrasi yang memberikan asuhan rawat inap, hospitalisasi parsial atau terapi harian, perawatan residetial, perawatan di rumah, dan asuhan rawat jalan.
Tatanan terapi di komunitas saat ini berkembang menjadi foster care atau group home, hospice, lembaga kesehatan rumah, asosiasi perawat kunjungan, unit kedaruratan, shelter, nursing home, klinik perawatan utama, sekolah, penjara, industri, fasilitas managed care, dan organisasi pemeliharaan kesehatan.
Tiga domain praktik keperawatan jiwa kontemporer meliputi :
(1) Aktivitas asuhan langsung
(2) Aktivitas komunikasi
(3) Aktivitas penatalaksanaan
Fungsi penyuluhan, koordinasi, delegasi, dan kolaborasi pada peran perawat ditunjukkan dalam domain praktik yang tumpang tindih ini.Berbagai aktivitas perawat jiwa dalam tiap-tiap domain dijelaskan lebih lanjut. Aktivitas tersebut tetap mencerminkan sifat dan lingkup terbaru dari asuhan yang kompeten oleh perawat jiwa walaupun tidak semua perawat berperan serta pada semua aktivitas.
Selain itu, perawat jiwa mampu melakukan hal-hal berikut ini:
1. Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap budaya.
2. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien dan keluarga yang mengalami masalah kesehatan kompleks dan kondisi yang dapat menimbulkan sakit.
3. Berperan serta dalam aktivitas manajemen kasus, seperti mengorganisasi, mengakses, menegosiasi, mengordinasi, dan mengintegrasikan pelayanan perbaikan bagi individu dan keluarga.
4. Memberikan pedoman perawatan kesehatan kepada individu, keluarga,dan kelompok untuk menggunakan sumber kesehatan jiwa yang tersedia di komunitas termasuk pemberian perawatan, lembaga,teknologi,dan sistem sosial yang paling tepat.
5. Meningkatkan dan memelihara kesehatan jiwa serta mengatasi pengaruh gangguan jiwa melalui penyuluhan dan konseling.
6. Memberikan asuhan kepada pasien penyakit fisik yang mengalami masalah psiokologis dan pasien gangguan jiwa yang mengalami masalah fisik.
7. Mengelola dan mengordinasi sistem asuhan yang mengintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga,staf, dan pembuat kebijakan.
____________________________________________________________________________
1. 5 PRINSIP-PRINSIP KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
* Roles and functions of psychiatric nurse : competent care (Peran dan fungsi keperawatan jiwa : yang kompeten).
* Therapeutic Nurse patient relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat dengan klien).
* Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa).
* Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam keperawatan jiwa).
* Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam keperawatan jiwa).
* Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis dalam keperawatan jiwa).
* Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya dalam keperawatan jiwa).
* Environmental context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan lingkungan dalam keperawatan jiwa).
* Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika dalam keperawatan jiwa).
* Implementing the nursing process : standards of care (penatalaksanaan proses keperawatan : dengan standar- standar perawatan).
* Actualizing the Psychiatric Nursing Role : Professional Performance Standards (aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar professional).
__________________________________________________________________________________
1.6 PERKEMBANGAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
Menangani klien yang memiliki masalah sikap, perasaan dan konflik
↓
Pencegahan primer
↓
Penanganan multidisiplin
↓
Spesialisasi keperawatan jiwa
DULU :
Pasien Gangguan Jiwa dianggap sampah, memalukan dipasung
SEKARANG :
- Meningkatkan Iptek
- Pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa meningkat
- Perlu pemahaman tentang human right
- Penting meningkatkan mutu pelayanan dan perlindungan konsumen.
______________________________________________________________________
1.7 KONSEPTUAL MODEL KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
Tabel 1
Model
View of behavioral deviation
Therapeutic process
Roles of a patient & therapist
Psychoanalytical
(freud, Erickson)
Ego tidak mampu mengontrol ansietas, konflik tidak selesai
Asosiasi bebas & analisa mimpi
Transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu
Klien: mengungkapkan semua pikiran & mimpi
Terapist : menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien
Interpersonal
(Sullivan, peplau)
Ansietas timbul & dialami secara interpersonal, basic fear is fear of rejection
Build feeling security
Trusting relationship & interpersonal satisfaction
Patient: share anxieties
Therapist : use empathy & relationship
Social
(caplan,szasz)
Social & environmental factors create stress, which cause anxiety &symptom
Environment manipulation & social support
Pasien: menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat
Terapist: menggali system social klien
Existensial
(Ellis, Rogers)
Individu gagal menemukan dan menerima diri sendiri
Experience in relationship, conducted in group
Encouraged to accept self & control behavior
Klien: berperan serta dalam pengalaman yang berarti untuk mempelajari diri
Terapist: memperluas kesadaran diri klien
Supportive Therapy
(Wermon,Rockland)
Faktor biopsikososial & respon maladaptive saat ini
Menguatkan respon koping adaptif
Klien: terlibat dalam identifikasi coping
Terapist: hubungan yang hangta dan empatik
Medical
(Meyer,Kreaplin)
Combination from physiological, genetic, environmental & social
Pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik & teknik interpersonal
Klien: menjalani prosedur diagnostic & terapi jangka panjang
Terapist : Therapy, Repport effects,Diagnose illness, Therapeutic Approach
Berdasarkan konseptual model keperawatan diatas, maka dapat dikelompokkan ke dalam 6 model yaitu:
1. Psycoanalytical (Freud, Erickson)
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapt terjadi pada seseorang apabila ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of Behavioral).
Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan pada masa oral dimana anak tidak mendapatkan air susu secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar berkata- kata, dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada fase oral dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang membekas pada masa dewasa.
Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien dibuat dalam keadaan ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya pengalaman alam bawah sadarnya digali dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal dengan metode hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan yang khusus.
Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya, sedangkan therapist berupaya untuk menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.
Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu misalnya ( pernah disiksa orang tua, pernah disodomi, diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya).
2. Interpersonal ( Sullivan, peplau)
Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya.
Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling Security (berupaya membangun rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal Satisfaction (menjalin hubungan yang saling percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati.
Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan sharing mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and relationship ( perawat berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh klien). Perawat memberiakan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang lain.
3. Social ( Caplan, Szasz)
Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor social dan factor lingkungan yang akan memicu munculnya stress pada seseorang ( social and environmental factors create stress, which cause anxiety and symptom).
Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model ini adalah environment manipulation and social support ( pentingnya modifikasi lingkungan dan adanya dukungan sosial)
Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.
4. Existensial ( Ellis, Rogers)
Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Bodi-image-nya
Prinsip dalam proses terapinya adalah : mengupayakan individu agar berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dapat dianggap sebagai panutan(experience in relationship), memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi (self assessment), bergaul dengan kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in group), mendorong untuk menerima jatidirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback tentang perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self and control behavior).
Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan untuk berperan serta dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk memperlajari dirinya dan mendapatkan feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas kelompok. Terapist berupaya untuk memperluas kesadaran diri klien melalui feed back, kritik, saran atau reward & punishment.
5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan yang hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang adaptif.
6. Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan.
_________________________________________________________________
1.8 PERAN PERAWAT KESEHATAN JIWA
* Pengkajian yg mempertimbangkan budaya
* Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan
* Berperan serta dlm pengelolaan kasus
* Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi pengaruh penyakit mental - penyuluhan dan konseling
* Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga staf dan pembuat kebijakan
* Memberikan pedoman pelayana kesehatan
___________________________________________
1.9 ASUHAN YANG KOMPETEN BAGI PERAWAT JIWA ( COMPETENT OF CARING )
* Pengkajian biopsikososial yang peka terhadap budaya.
* Merancang dan implementasi rencana tindakan untuk klien dan keluarga.
* Peran serta dalam pengelolaan kasus: mengorganisasikan, mengkaji, negosiasi, koordinasi pelayanan bagi individu dan keluarga.
* Memberikan pedoman pelayanan bagi individu, keluarga, kelompok, untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas kesehatan mental, termasuk pelayanan terkait, teknologi dan sistem sosial yang paling tepat.
* Meningkatkan dan memelihara kesehatanmental serta mengatasi pengaruh penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
* Memberikan askep pada penyakit fisik yang mengalami masalah psikologis dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.
* Mengelola dan mengkoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan klien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.
Daftar Pustaka
Keliat, Budi Anna;Panjaitan;Helena. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Ed.2. Jakarta: EGC.
Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep,Iyus.2007. Keperawatan Jiwa. Jakarta: PT. Refika Aditama.
Sabtu, 19 Juni 2010
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT (KEGAWAT DARURATAN & KEKRITISAN) : FILOSOFI, KONSEP HOLISTIK & PROSES KEPERAWATAN
A. DEFINISI KGD :
Pelayanan profesional yg didasarkan pada ilmu keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua kelompok usia yang sedang mengalami masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut dan kritis akibat trauma, proses kehidupan ataupun bencana.
B. MATA AJAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
AREA : Pra Rumah sakit dan Rumah sakit
KEMAMPUAN :Pengetahuan, Sikap & ketrampilan u/ memberikan ASKEP kegawatan & Kekritisan khususnya hal-hal yg terkait LIVE SAVING.
C. LINGKUP BAHASAN :
a. Konsep dasar KGD
b. Sisitem pelayanan KGD pra RS, Uit Gawat Darurat & prw Intensif.
c. Perawatan klien semua tk usia dng kegawatan sist : pernafasan, kardiovaskuler, persyarafan, pencernaan & endokrin, perkemihan, muskuloskeletal, reproduksi, jiwa & psikiatri
D. EMERGENCYNURSING ( KEPERAWATAN KRISIS )
a. DEFINISI EN : Sebuah area khusus / spesial dr keperawatan profesional yg melibatkan integrasi dari Praktek, Penelitian, Pendidikan profesional.
b. Praktek keperawatan emergency oleh seorang perawat profesional
c. FOCUS : Memberikan pelayanan secara episodik kpd pasien-pasien yg mencari terapi baik yg mengancam kehidupan , non krotical illness atau cedera.
d. INTI : Ditujukan pd esensi dr praktek emergency, lingkungan dimana hal tsb terjadi dan konsumen-konsumen keperawatan emergency.
e. EMERGENCY NURSES : RN profesional yg memiliki komitmen u/ menyelamatkan dan melaksanakan praktek keperawatan scr efektif.
E. EMERGENCY CARE
Pengkajian, diagnosis & terapi kep. yg dpt diterima baik aktual, potensial, tjd tiba-tiba atau urgen, masalah fisik atau psikososial dalam episodik primer atau akut yg mungkin memerlukan perawatan minimal atau tindakan support hidup, pendidikan u/ pasien atau orang terpenting lainnya, rujukan yg tepat dan pengetahuan ttg implikasi legal.
F. EMERGENCY CARE ENVIRONTMENT
Setting dimana pasien memerlukan intervensi oleh pemberi pelayanan kep emergency.
G. EMERGENCY PATIENT
1. Pasien dr segala umur dng diagnosa, tidak terdiagnosa atau maldiagnosis problem dng kompleksitas yg bervariasi.
2. Pasien-pasien yg memerlukan intervensi nyata dimana dpt terjadi perubahan status fisiologis atau psikologis scr cepat yg mungkin mengancam kehidupannya.
H. DIMENSI
Multidimensi meliputi : RESPONSIBILITIES, FUNCTION, ROLES, SKLILLS ( dng pengetahuan khusus )
1. KARAKTERISTIK UNIK PRAKTEK KEP. GADAR
a. Pengkajian, diagnosa, terai baik yg urgen / non urgen individual dari berbagai umur pasien walaupun dng data / informasi yg sangat terbatas
b. Triage & Prioritas
c. Persiapan bencana alam
d. Stabilisasi & resusitasi
e. Krisis intervensi u/ populasi ps yg UNIk spt korban kekerasan sexual
f. Pemberian perawatan pd lingkungan yg tidak terkontrol atau yg tidak dpt diprrediksikan
2. KERANGKA KERJA PROSES KEP. EN
a. TUJUAN
• Menyelamatkan hidup
b. PENGKAJIAN
Pada sistem yg terganggu
U/ memperbaiki kegagalan atau mempertahankan sistem
c. DIAGNOSIS
Mencari perbedaan u/ menemukan tanda-tanda & gejala
d. PERENCANAAN
Berdasarkan protokol dan prosedur
e. INTERVENSI
Terapi ditujukan pd penanganan gejala krisis & stabilisasi ps.
Diteruskan s/d pasien stabil u/ dpt pindah atau ditransportasikan ke unit lain atau meninggal
PERTOLONGAN PERTAMA PADA GIGITAN ULAR
A. Ular berbisa di Indonesia
Ular berbisa hanya sedikit yang ditemukan di Indonesia, diantaranya: ular sendok (kobra), ular anang (tedung atau king kobra), ular welang, ular weling, ular hijau pucuk/ular gadung (luwuk), ular taliwangsa (belang hitam-kuning) dan ular tanah (coklat tua dengan taring panjang).
B. Sifat Ular
Sifat ular yang harus dipahami adalah; ular takut pada manusia, menggigit untuk memperingatkan/mengusir manusia (pada kebanyakan kasus) serta 70% gigitan ular bukan dari ular berbisa, umumnya hanya sedikit atau tidak ada racun yang disuntikkan. Gigitan ular tidak semuanya berakhir dengan kematian. Kematian tidak datang seketika atau dalam beberapa menit saja. Gejala biasanya timbul 15 menit sampai 2 jam kemudian setelah korban digigit ular.
C. Ciri-ciri ular berbisa
Ciri secara umum (tidak mutlak) yg biasanya ada pada ular berbisa, yaitu: bentuk kepala pipih dan berpola huruf ‘V’, ukuran relatif kecil atau pendek, kecuali King Cobra yang bisa mencapai 5 meter dan warna biasanya cerah (tetapi hal ini tidak mutlak).
D. Mencegah tidak digigit ular
Mencegah agar tidak digigit ular adalah; jangan membuat koleksi dari ular, tinggalkan/jangan ganggu ular. beberapa orang digigt karena berusaha membunuh atau mencoba mendekat. Di daerah yang banyak ular, pakai sepatu, kaos kaki dan jeans apabila keluar rumah , jangan masukkan tangan dicelah-celah timbunan kayu atau sampah, Bila berjalan di semak belukar usahakan membuat suara berisik agar ular tahu keberadaan kita dan menyingkir, hati-hati bila berjalan di rumput yang tebal dan potong pendek rumput di sekitar rumah, tempat kerja dan sekolah dan pergunakan senter bila berjalan di malam hari.
E. gambaran gigian ular berbisa
Gambaran gigian ular berbisa akan timbul rasa nyeri daerah tusukan (muncul segera seelah gigitan), daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar (dapat cepat berkembang), reaksi emosi yang kuat, penglihatan kembar/kabur, mengantuk, sakit kepala, pusing dan pingsan, mual dan atau muntah dan diare, rasa sakit atau berat didada dan perut, tanda-tanda tusukan gigi, gigitan biasanya pada tungkai/kaki, sukar bernafas dan berkeringat banyak, kesulitan menelan serta kaku di daerah leher dan geraham.
F. Pertolongan pertama
pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. selanjutnya lakukan prinsip :
R = Reassure = yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban,
kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat
menyebar ke tubuh. terkadang pasien pingsan / panik karena kaget.
I = Immobilisation = jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak
berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang:
lakukan tehnik balut tekan ( pressure-immoblisation ) pada daerah sekitar gigitan
(tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan)
G = Get = bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T =Tell the Doctor = informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul pada
korban.
G. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan)
1. Balut tekan pada tangan
a. Istirahatkan (Immobilisasikan) Korban
b. Keringkan sekitar luka gigitan
c. Gunakan pembalut elastis
d. Jaga luka lebih rendah dari jantung
e. Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik keatas.
f. Biarkan jari kaki jangan dibalut
g. Jangan melepas celana atau baju korban
h. Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat
aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kakiyang tetap pink)
i. Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
2. Balut tekan pada tangan
a. Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut)
b. Balut siku & lengan dngn posisi ditekuk 90 drjt.
c. Lanjutkan balutan ke lengan s/d pangkal lengan.
d. Pasang papan sebagai fiksasi
e. Gunakan mitela untuk menggendong tangan
H. Kesalahan Penanganan
Kesalahan penanganan yg sering dilakukan, mengikat (Tourniquets) sekitar luka /gigitan membuat sayatan memotong, membuat perdarahan atau menggerakan daerah gigitan, mencuci luka gigitan dan menyedot racun dari luka gigit
I. Pertolongan di RS
1. Pasang I.V.,
2. resusitasi cairan jika diperlukan
3. Pelacakan alergi,
4. Jenis gigitan untuk menentukan antibisa
5. Resusitasi kardiopulmoner jika diperlukan,
6. Adrenalin
7. Cek laboratorium darah, jika dlm waktu 4 jam darah korban tidak terdapat tanda
koagulopati, miolisis dan pasien tidak menunjukan tanda gigitan berbisa maka pasien
tidak terkena gigitan berbisa.
J. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa
1. Infus RL,
2. resusitasi cairan jika diperlukan
3. Cek laboratorium
4. Urinalisa
5. Darah lengkap
6. Golongan darah
7. Ptt,aptt, fibrinogen
8. BUN, creatinin, Va, phospat, dll
9. EKG
10. Monitor ketat pasien ( tiap 15mnt – 2 jam setelah gigitan )
11. Intubasi jika gagal nafas, cek sumbatan jalam nafas
12. RKP jika cardipulmonary arrest
13. pemberian antibisa
14. Larutkan antibisa dalam RL 60 cc,
15. berikan selama 30 mnt
16. Cek efek antibisa 15 menit setelah antibisa habis
17. Kemudian buka balutan dng hati-hati dlm waktu 5 mnt,
18. Jika setelah dibuka keadaan umum pasien tambah buruk
19. lakukan pembidaian kembali
20. Beri ATSAntibiotik profilaksis
21. Kontraindikasi diberikan Morfin
KASUS TRAUMA ABDOMEN
A. kasus
Pria (25) ditendang di daerah perut saat berkelahi. Shg mengalami hematoma dan abrasi, ttp petugas medis tdk melihatnya sbg cedera yg serius, diberi aspirin dan dipulangkan. 3 hari kmdn masuk RS dgn peritonitis berat. Sejumlah besar pus dan isi usus dikeluarkan ttp tak lama kemudian meninggal
B. Pendahuluan
Trimodal Death Distribution
KLL >> multiple trauma
85 % Multiple trauma >> Trauma abdomen
Angka Kematian trauma abdomen ??
C. Anatomi
• Batas rongga Abdomen :
a. Atas : Diafragma
b. Bawah : Pelvis
c. Depan : Dinding depan abdomen
d. Lateral : Dinding lateral abdomen
e. Belakang : Dinding belakang abdomen serta tulang belakang
D. Anatomi abdomen
E. Organ Abdomen
a. Solid
b. Berongga
F. Topografi Abdomen
a. Intra peritoneal
b. Retro peritoneal
c. Pelvical
G. Trauma Abdomen
• Trauma Tumpul
a. Benturan langsung, Setir mobil, stang
b. Ruptur organ >> Uterus bumil
c. Shearing Injuries >> penggunaan sabuk pengaman yg salah
d. Deceleration
• Trauma Tembus
a. Luka tusuk
b. Luka tembak kecepatan rendah >> kerusakan jaringan, lacerasi, putus
c. Luka tembak kecepatan tinggi >> hancur organ dalam
• Trauma penetrasi
a. Trauma penetrasi
H. mekanisme
Mechanism of injury?
Mekanisme Trauma ?
I. Pengkajian
• Riwayat trauma ? Biomekanika trauma?
• Pemeriksaan fisik abdomen :
a. Inspeksi
b. Auskultasi
c. Perkusi
d. Palpasi
J. Pemeriksaan
a. Stabilitas pelvis
b. Penis, perianal, rectal, vagina ?
c. Gluteal
K. Pemasangan kateter
a. Gastric tube :
• Mengurangi dilatasi akut lambung
• Dekompresi sebelum dilakukan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
• Mengeluarkan isi lambung >> resiko aspirasi >>>> bila ada darah ??
b. Kateter urine :
• Mengurangi retensi urine
• Dekompresi VU sebelum dilakukan DPL >>>>darah pada meatus ??
L. Pengambilan sampel
a. Darah
b. Urine
M. Pemeriksaan radiologis
a. Foto polos abdomen
b. Dengan kontras :
• uretrografi
• Cystografi
• IVP
N. Emergency Management
a. ABC
b. Cegah shock & infeksi
c. Jangan berikan apapun melalui mulut
d. Jangan sentuh bagian eviscerasi, lakukan penutupan luka seperti pada gambar
e. Jangan ambil impaled objects, lakukan fiksasi pada benda tersebut.
f. Monitoring ketat :
• Tingkat kesadaran
• Tanda vital >> hipotensi
• Adanya peritonitis
• Serial Hb
g. Segera rujuk / transportasi untuk Tindakan definitif.
O. Prosedur khusus
a. Diagnostic Peritoneal Lavage > memasukkan kateter pd peritoneal :
• multiple trauma
• hemodinamik tak stabil
• DPL Positif bila :
• Bila ada darah, isi usus, serat sayuran, cairan empedu
• Analisis kuantitatif cairan pencuci positif bila:
RBC >100.000/mm3
WBC > 500/mm3
Hematocrit >2 ml/dl
b. laparatomi !!
a. Indikasi laparatomi
b. Trauma tumpul abdomen DPL positif
c. Trauma tumpul abdomen dg hipotensi berulang
d. Peritonitis akut
e. Hipotensi dengan luka tembus abdomen
f. Perdarahan gaster, rectal, daerah genitourinari akibat trauma tembus
g. Indikasi…...
h. Luka tembak melintas peritoneum/retroperitoneum viseral/vaskular
i. Eviscerasi
j. Rontgen :
ada udara bebas rongga peritoneum, ruptur diafragma
CT : ruptur GI tract, cedera kandung kemih, renal dan organ vital lain.
P. Ringkasan
a. Trauma abdomen bisa disebabkan oleh trauma tumpul dan trauma tajam
b. Fokus tindakan emergency :
• ABC
• Cegah shock
• Cegah infeksi
• Monitoring.
KEGAWATAN OBSTETRIK
I. Emergency Obstetric Care
A. Pendahuluan
Maternal mortality claims 514,000 women’s lives each year. Nearly all these lives could be saved if affordable, good-quality obstetric care were available 24 hours a day, 7 days a week.
B. Pengertian
Kasus obstetri yg apabila tidak segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinya . Kasus ini sbg penyebab kematian ibu, janin dan bayi baru lahir. Obstetrical emergencies are life-threatening medical conditions that occur in pregnancy or during or after labor and delivery.
C. Penyebab utama kematian :
Most of the deaths are caused by haemorrhage, obstructed labour, infection (sepsis), unsafe abortion and eclampsia (pregnancy-induced hypertension). Indirect causes likemalaria, HIV and anaemia
D. KASUS PERDARAHAN
1. Abortus
2. Kehamilan ektopik terganggu
3. Mola hidratidosa
4. Placenta previa
5. Abruptio placenta
6. Inversi atau Ruptur uteri
7. Atonia uteri
8. Ruptur perineum & robekan dinding vagina
9. AMNIOTIC FLUID EMBOLISM
10. Retensio plasenta
11. rolapse of the umbilical cord
12. Shoulder dystocia
E. INFEKSI & SEPSIS
1. Infeksi dlm kehamilan:
a. Virus varicella,
b. influenza,
c. toksoplasmosisherpes genitalia
2. Infeksi dlm persalinan:
a. korioamnionitis
3. Infeksi nifas :
a. metritis,
b. tromboplebitis
F. MANIFESTASI KLINIS
Untuk masing-masing ksus berbeda dng rentang waktu yg luas, perdarahan dpt bermanifestasi dari perdarahan berwujud bercak merembes profus s/d shockInfeksi & sepsis, bermanifestasi mulai dr pengeluaran cairan pervaginam yg berbau, air ketuban hijau, demam s.d shock. Pre eklamsi & eklamsi, mulai dr keluhan sakit kepala / pusing, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang, tidak sadar s/d koma
G. Diagnosis
In a hospital or other urgent care facility. patient's medical history and perform a pelvic and general physical examination.The mother's vital signs, if preeclampsia is suspected, blood pressure may be monitored over a period of time. The fetal heartbeat is assessed with a doppler stethoscope, and diagnostic blood and urine tests: protein and/or bacterial infection.
An abdominal ultrasound: malpositioned placenta, such as placenta previa or placenta abruption.
II. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)
A. DEFINISI
KET adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi , implantasi terjadidiluar endometrium kavum uteri.KET dpt mengalami abortus atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi dan peristiwa ini disebut sbg KET
B. TANDA & GEJALA
1. Gejala kehamilan muda & abortus imminens
2. Pucat / anemia
3. Keadaan umum lemah, terjadi penurunan lesadaran
4. Shock
5. Nyeri tekan
6. Nyeri perut bagian bawah yang makin hebat apabila tubuh digerakan
C. PENANGANAN KET
1. Pemeriksaan fisik, tes kehamilan, anamnesa untuk menegakan diagnosa KET
2. Setelah terdiagnosa KET, segera lakukan persiapan operasi gawat darurat
3. Sediakan darah
4. Upayakan stabilisasi pasien dengan terapi cairan
5. Kendalikan nyeri pasca tindakan konseling pasca tindakan .
III. RUPTUR UTERI , Ruptur uteri merupakan komplikasi yg sangat fatal
A. DEFINISI
Robekan dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miometrium yang disebabkan oleh disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik
B. TANDA & GEJALA KLINIS
1. Didahului oleh lingkaran konstriksi ( Bandl’s ring) hingga umbilikus atau diatasnya
2. Nyeri hebat pada perut bagian bawah
3. Hilangnya kontraksi & bentuk normal uterus gravidus
4. Perdarahan pervaginam dan shock
C. PENANGANAN RUPTUR UTERI
Penanganan dan pengenalan segera dan tepat pada kasus ini dapt menyelamatkan pasien dari kematian
1. Tindakan paling tepat : operasi laparatomi u/ menlahirkan anak & placenta
2. Resusitasi cairan untuk mengganti kehilangan darah
3. Pantau tanda vital & shock hipovolemik scr ketat
4. Bila konsenvasi uterus masih diperlukan & kondisi jaringan memungkinkan, dilakukan tindakan operasi uterus
5. Bila luka mengalami nekrosis luas & kondisi pasien menghawatirkan dilakukan histerektomi
6. Pemantauan ketat KU, TV, perdarahan, kesadaran, shock, lab dll , pasca operasi
IV. ABRUPTIO PLACENTA
A. DEFINISI
Suatu keadaan dimana plasenta terlepas dari dinding dalam uterus sebelum bayi lahirMerujuk pada terlepasnya plasenta yg terletak pada posisi normalnyan setelah minggu ke 20 kehamilan dan utamanya pada saat kelahiran.
B. Statistik
Prev di dunia sekitar 1% dari seluruh kehamilan di dunia.
C. Mortalitas/mordibitas:
Kematian IBU dan JANIN dapat terjadi krn PERDARAHAN dan KOAGULOPATI.
Kematian bayi stlh lahir sekitar 15%
D. Klasifikasi
Berat ringanya komplikasi abruptio placenta tergantung pada : jumlah perdarahan, derajat lepasnya placenta, ukuran bekuan darah yang terbentuk pada permukaan placenta maternal.
Ada beberapa sistem pengklasifikasian derajat abruptio placenta, salah satunya adalah dng pembagian :
1. RINGAN
<> 2/3 bagian placenta terlepas dr uterus yang menyebabkan kaku & kencangnya uterus terus-menerus yang disertai nyeri berat. Perdarahan hitam pervaginam + ( > 1000 cc ), terkadang perdarahan tidak terjadi. Distres fetus mulai terjadi dan jika fetus tidak dilahirkan kematian tidak dpt dielakan. Terlepasnya plasenta menyebabkab ibu mengalami shock, kematian fetus, nyeri hebat dan kemungkinan berkembangnya DIC ( disseminated intravaskular coagulation )
E. Causes
1. Perdarahan retroplasenta karena penusukan jarum
2. Hamil pada usia tua
3. idiopatik
4. Fibromioma retroplacenta
5. Hipertensi maternal
6. Maternal trauma
7. Ibu perokok
8. Penggunaan kokain
9. Tali pusat pendek
10. Dekompresi pd uterus yg tiba-tiba
F. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Kondisi yg berhubungan dng abruptio placenta :
2. PIH ( pregnancy induced hypertension ) atau hipertensi kronik (140 / 90 mmhg )
3. Ruptur prematur dari membran <> 35 th, anomali uterus fibroid dan penyakit vaskuler misalnya DM atau penyakit colagen. Trauma eksternal ( misal kecelakaan )
4. Resiko akibat perilaku misalnya merokok, mengkonsumsi ethanol, kokain, methemphetamin
5. Riwayat abruptio placenta
6. Dekompresi cepat dr distensi yg berlebihan misal pd gestasi ganda, polihidramnion
7. Defisiensi asam folat ( jarang terjadi )
8. Riwayat
9. Ps biasanya memperlihatkan gejala :
10. Perdarahan Vaginal (80%)
11. Nyeri Abdomen / back pain dan kekakuan uterus (70%)
12. Fetal distress (60%)
13. Kontraksi abdomen Abnormal (hipertonik, frek tinggi) (35%)
14. Idioaphic prematur labor (25%)
15. Kematian Fetus (15%)
G. TANDA & GEJALA
1. Sangat tergantung pd luas / jumlah plasenta yg
2. lepas dan tipe abruptio
3. Sangat bervariasi
4. Tanda klasik kejadian akut “ knife like “ abdominal pain dng atau tanpa perdarahan pervaginam
5. AP ringan, gejalanya dpt spt nyeri melahirkan
6. AP berat nyeri dpt terjadi tiba-tiba & spt ditusuk pisau
7. Jika tjd perdarahan abdomen mjd membesar & uterus kaku. Abdomen spt “ board-like”
8. A couvelaire uterus s/d shock pd ibu
9. Perdarahan pervaginam ( pd 80% penderita )
10. Fetal distres s/d meninggal
H. Uji diagnostik
1. Lab
• Hb
• Ht
• Platelet
• Prothrombin/ aptt
• Fibrinogen
• Fibrin
• D-dimer
• Gol darah
2. USG
• Prehospital management
• Mon TV kontinyu
• O2 kontinyu-high flow
• IV line (1-2 jalur ): NaCl / RL
• Mon perdarahn vagina
• Mon DJJ
• Terapi shock jk diperlukan
3. ED
• Observasi ketat
• O2 tinggi
• DJJ mon
• IV-cairan
• Resusc cairan K?P
• Mon TV- U/O
• PRC- 4 unit disiapkan
• Mon penurunan tekanan intrauterin
• Seceparnya operasi SC
• Kolaborasi terapi DIC
I. PENATALAKSANAAN
Bervariasi tergantung : umur gestasi fetus, beratnya abruptio, komplikasi yg berhubungan, status ibu & fetus.
1. jk perdarahan banyak & tidak dpt dikontrol dilakukan persalinan yg tepat
2. Penentuan persalinan cepat tergantung pd beratnya abruptio placenta dan janin hidup / mati
3. AP berat dng atau tanpa perdarahan pervaginam dilakukan operasi sesar
4. Kehamilan dibawah 37 minggu penatalaksanaanya diyujukan pd memperpanjang kehamilan dengan harapan maturitas fetus
5. Jika fetus immatur dan tidak memperlihatkan kompresi fetus serta perdarahan pd ibu tidak menyebabkan hipovolemiadilakukan observasi ketat scr dini.
6. Fungsi koagulasi & status vilume obu baik tp terdapat distress fetus persalinan dilakukan dng cara yg aman.
V. PRE EKLAMSI & EKLAMSI
A. PRE EKLAMSI
Diagnosa pre eklamsi didasarkan pd berkembangnya pregnancy- induced hypertension dengan proteinuria, edema atau keduanya setelah 20 minggu kehamilan. Pre eklamsi dpr diklasifikasikan berat jika terdapat satu atau lebih gejala dibawah ini :
1. Pd keadaan istirahat TD sistolik ³ 160 mmhg atau diastolik 110 mmhg yg terjadi dua kali minimal dlm waktu 6 juam.
2. Proteinuria ³ 5 gr / 24 jam
3. Oliguria <> disukai IV , loading dose 4 mg dilanjutkan IV 1 - 2
2. KONTROL TEKANAN DARAH
tujuan terapi adalah menurunkan tekanan darah sistemik sapai pd titik dimana ststua ibu stabil. Tidak harus menurunkan sampai normal.
3. TERAPI SUPPORTIF
Pada pre eklamsi berat sering terjadi edema paru cadiac dan noncardiac. Terapi olsigen diberikan u/ mempertahankan PaO2 > 70 mmhg u/ mempertahankan oksigenasi fetus. K/P intubasi challengec cairan IV sebaiknya diberikan. Jk tidak berhasil lakukan monitoring hemodinamik invasif. Jk IV volume adekuat terapi vasodelator dpt membantu, monitoring ketat tanda vital, hemodinamik,status neurologis, kondisi janin, oksigenasi, dll.
4. HELLP SYNDROME
a. H = HEMOLISIS, an abnormal peripheral smear, total bilirubin > 1,2 mg/dl, atau kadar serum lactat dehydrogenase ( LDH ) > 600 U/L
b. EL=elevated lever enzym, aspartate aminotransferase ( AST) > 70 U/L atau LDH > 600U/L dan
c. LP= low platelet count - < 100,000/mm3
• Mengidentifikasi adanya kondisi kehamilan yg BERAT & MENGANCAM KEHIDUPAN
• Variasi sindroma ini mungkin tida melibatkan seluruh gejala diatas. Dapat muncul dng tanda yang tidak spesifik seperti nyeri epigastrum atau nyeri kuadran kanan bawah, malaise, mual, muntah,.
• Umumnya terjadi pada usia kehamilan 27 – 36 mg.
• pre eklamsi / eklamsi umumnya mendahului HELLP syndrome tapi 1/3 ps tidak mengalami hipertensi.
• Merupakan bagian dari fibrolisis atau hemolisis dr pre eklamsi trombositopenia DIC, perdarahan ntraserebral, gagal ginjal,
• Terkadang gejalanya dikacaukan dengan acute fatty liver in pregnancy
• Tidak merupakan indikasi persalinan namun demgan meningkatnya mordibitas fetus & maternal diperlukan persalinan yg tepat. Terapi hampir sama dengan pre eklamsi berat / eklamsi.
VI. AMNIOTIC FLUID EMBOLISM
A rare but frequently fatal complication of labor occurs when amniotic fluid embolizes from the amniotic sac and through the veins of the uterus and into the circulatory system of the mother. The fetal cells present in the fluid then block or clog the pulmonary artery, resulting in heart attack. This complication can also happen during pregnancy, but usually occurs in the presence of strong contractions.
VII. PROLAPSED UMBILICAL CORD
A prolapse of the umbilical cord occurs when the cord is pushed down into the cervix or vagina. If the cord becomes compressed, the oxygen supply to the fetus could be diminished, resulting in brain damage or possible death.
VIII. SHOULDER DYSTOCIA
Shoulder dystocia occurs when the baby's shoulder(s) becomes wedged in the birth canal after the head has been delivered.
INTOKSIKASI
Penyebab intoksisasi ada banyak macam, yang sering terjadi adalah karena kecelakaan atau, disengaja / bunuh diri. Di Amerika intoksikasi ± 75% terjadi pada anak umumnya karena keracunan produk rumah tangga
A. Agen Intoksikasi
Terjadi pada semua umur remaja: obat-obat psikotropik, sedative, transqualizer, antidepresan dan obat-obat narkotik. dewasa umumnya karena kecelakaan kerja (karbon monoksida, pestisida, keracunan makanan, dll)
B. Mekanisme
Mekanisme cidera masing-masing racun memiliki efek patologis yang berbeda-beda dimana masing masing racun memiliki patologi sendiri-sendiri. Efek racun dapat terjadi pada tempat atau sekitar masuknya racun (misalnya reaksi kimia sitotoksin) dan dapat berupa toksisitas sistemik yaitu efek-efek selektif racun atau efek metabolik khusus dari racun itu terhadap target yang spesifik misalkan asetaminofen di liver, methanol diretina, dll.
C. Pengkajian Prioritas Utama
1. Pengkajia riwayat kejadian, tanyakan pada pengantar pasien/pasien sendiri jika kooperatif.
2. Pengjakian fisik : Initial assessment/ Arway- Breathing- Cirkulating ( ABC)
a. Tingkat kesadaran
b. Pernafasan dan efektifitas nafas
c. Irama jantung
d. Ada tidaknya kejang
e. Keadaan dan warna kulit
f. Besar dan reaksi pupil mata
g. lesi, bau mulut, dan lainnya
Terkadang setelah mendapatkan resusitasi (ABC) sering dilanjutkan dengan perawatan suportif di ICU dan dilakukan pengeluaran zat penyebab dari tubuh serta mungkin diperlukan antidotumnya.
Jika didapat pasien tidak sadar dengan penyebab yang Belum jelas, perlu selalu difikirkan adanya kemungkinan intoksikasi. tindakan pertama:menjaga jalan nafas, oksigen ( biasanya tidak kurang dari 6 lt / menit), K/p bantuan nafas, IV line, kemudian cek seluruh tubuh adanya tanda-tanda kemungkinan mendapat obat atau racun, periksa adanya bekas suntikan, zat terminum bau nafas dan lainnya dan perkirakan juga kemungkinan terjadinya hipoglikemi.
D. Evaluasi/outcome umum pd intoksikasi
Stabilisasi & menigkatnya kardiorespirasi, kriteria :
sistolik 100mmHg, nadi 60 – 100X / menit, irama reguler
respirasi 24 X/ menit, tidak ada rales, tidak ada wheezing
meningkatnya kesadaran
1. Carbon Monoxide Poisoning
Carbon monoxide (CO), is a colorless, odorless, toxic gas that is a product of incomplete combustion. Motor vehicles, heaters, appliances that use carbon based fuels, and household fires are the main sources of this poison.
2. Carbon monoxide (CO)
Carbon monoxide (CO) intoxication is the leading cause of death due to poisoning in the United States and also the most common cause of death in combustion related inhalation injury. The incidence of non-lethal CO poisoning is not well established nor is that of unrecognized CO poisonin. Mortality rates as high as 31% have been reported in large series
3. Agent
Most immediate deaths from building fires are due to CO poisoning and therefore, fire fighters are at high risk.
a. Exogenous Sources of CO
b. Car exhaust fumes
c. Furnaces
d. Gas-powered engines
e. Home water heaters
f. Paint removers containing methylene chloride
g. Pool heaters
h. Smoke from all types of fire
i. Sterno fuel
j. Tobacco smoke
k. Wood stoves
E. Pathophysiology
In patients who die early following CO poisoning the brain is edematous, and there are diffuse petechia and hemorrhages. If the victim survives initially but dies within a few weeks, findings typical of ischemic anoxia are prominent. Interestingly, the severity of the lesions appears to correlate best with the degree of hypotension rather than with hypoxia.
1. Hypoxia and cellular asphyxia
CO combines preferentially with hemoglobin to produce COHb, displacing oxygen and reducing systemic arterial oxygen (O2) content. CO binds reversibly to hemoglobin with an affinity 200- 230 times that of oxygen. Consequently, relatively minute concentrations of the gas in the environment can result in toxic concentrations in human blood. Possible mechanisms of toxicity include: decrease in the oxygen carrying capacity of blood. Alteration of the dissociation characteristics of oxyhemoglobin, further decreasing oxygen delivery to the tissues. Decrease in cellular respiration by binding with cytochrome a3. Binding to myoglobin, potentially causing myocardial and skeletal muscle dysfunction.
2. Ischemia.
In addition to causing tissue hypoxia, CO can cause injury by impairing tissue perfusion, indicate that myocardial depression, peripheral vasodilation, and ventricular arrhythmia causing hypotension may be important in the genesis of neurologic injury.
3. Reperfusion injury
Many of the pathophysiologic changes are similar to those seen with postischemic reperfusion injuries, and similar pathology occurs in the brain in the absence of CO when hypoxic hypoxia precedes an interval of ischemia.
F. Symptomatology
Many victims of CO poisoning die or suffer permanent, severe neurological injury despite treatment. In addition, as many as 50% of those who recover consciousness and survive may experience varying degree of more subtle but still disabling neuropsychiatric sequela.
The features of acute CO poisoning are more dramatic than those resulting from chronic exposure. The clinical presentation of acute CO poisoning is variable, but in general, the severity of observed symptoms correlates roughly with the observed level of COHb:
COHb Levels and Symptomatology
a. 10% Asymptomatic or may have headaches
b. 20% Dizzyness, nausea, and syncope
c. 30% Visual disturbances
d. 40% Confusion and syncope
e. 50% Seizures and coma
f. 60% Cardiopulmonary dysfunction & death
G. Management
The mainstay of therapy for CO poisoning is supplemental O2, ventilatory support and monitoring for cardiac arrhythmias. There is general agreement that 100% oxygen should be administered prior to laboratory confirmation when CO poisoning is suspected. The goal of oxygen therapy is to improve the O2 content of the blood by maximizing the fraction dissolved in plasma (PaO2).36 Once treatment begins, O2 therapy and observation must continue long enough to prevent delayed sequelae as carboxymyoglobin unloads.
The most controversial and widely debated topic regarding CO poisoning is the use of hyperbaric oxygen (HBO). The most controversial and widely debated topic regarding CO poisoning is the use of hyperbaric oxygen (HBO) severe poisoning should be treated with 100% oxygen, with endotracheal intubation in patients who cannot protect their airway. In these patients, consideration should be given to transfusion of packed red blood cells.
H. Prognosis
30% of patients with severe poisoning have a fatal outcome.49 One study has estimated that 11% of survivors have long-term neuropsychiatric deficits, including 3% whose neurologic manifestations are delayed. One third of CO poisoning victims may have subtle but lasting memory deficits or personality changes.40. Indicators of a poor prognosis include altered consciousness at presentation, advanced age, patients with underlying cardiovascular disease, metabolic acidosis, and structural abnormalities on CT or MRI scanning.
Organophosphate and Carbamate Poisioning
Although OPC and carbamates are structurally distinct, they have similar clinical manifestations and generally the same management. Although most patients with OPC and carbamate poisoning have a good prognosis, severe poisoning is potentially lethal. Early diagnosis and initiation of treatment are important. The ED physician has access to a number of therapeutic options that can decrease morbidity and mortality.
I. Pathophysiology
OPCs and carbamates bind to 1 of the active sites of acetylcholinesterase (AChE) and inhibit the functionality of this enzyme by means of steric inhibition. The main purpose of AChE is to hydrolyze acetylcholine (ACh) to choline and acetic acid. Therefore, the inhibition of AChE causes an excess of ACh in synapses and neuromuscular junctions, resulting in muscarinic and nicotinic symptoms and signs.
Excess ACh in the synapse can lead to 3 sets of symptoms and signs. First, accumulation of ACh at postganglionic muscarinic synapses lead to parasympathetic activity of smooth muscle in lungs, the GI tract, heart, eyes, bladder, and secretory glands, and increased activity in postganglionic sympathetic receptors for sweat glands. This results in the symptoms and signs that can be remembered with the mnemonic SLUDGE/BBB. Second, excessive ACh at nicotinic motor end plates causes persistent depolarization of skeletal muscle (analogous to that of succinylcholine), resulting in fasciculations, progressive weakness, and hypotonicity. Third, as OPs cross the blood-brain barrier, they may cause seizures, respiratory depression, and CNS depression for reasons not completely understood.
J. Signs & Symptoms
Patients often present with evidence of a cholinergic toxic syndrome, or toxidrome. SLUDGE/BBB mnemonic :
S = Salivation
L = Lacrimation
U = Urination
D = Defecation
G = GI symptoms
E = Emesis
B = Bronchorrhea
B = Bronchospasm
B = Bradycardia
DUMBELS mnemonic
D = Diarrhea and diaphoresis
U = Urination
M = Miosis
B = Bronchorrhea, bronchospasm, and bradycardia
E = Emesis
L = Lacrimation
S = Salivation
K. Lab & Test
Serum cholinesterase and RBC AChE activity, which are used to estimate neuronal AChE activity. Other Tests: ECG, prolonged QTc interval is the most common ECG abnormality. Elevation of the ST segment, sinus tachycardia, sinus bradycardia, and complete heart block (rare) may also occur. (Sinus tachycardia occurs just as commonly as sinus bradycardia.)
L. Prehospital Care
Identification of the type of chemical is important. As a general rule, dimethyl OPCs undergo rapid aging, which makes early initiation of oximes critical. In comparison, diethyl compounds may cause delayed toxicity, and oxime therapy may need to be prolonged.
M. Emergency Department Care
1. ABC
Care of the ABCs should be initiated first because intubation may be necessary in cases of severe poisoning. Because succinylcholine is metabolized by means of plasma cholinesterase, OPC or carbamate poisoning may cause prolonged paralysis. Increased doses of nondepolarizing agents, such as pancuronium or vecuronium, may be required to achieve paralysis because of the excess ACh at the receptor.
Providers with appropriate personal protective equipment (PPE) can address the ABCs before decontamination atropine can precipitate ventricular fibrillation in hypoxic patients. Paradoxically, the early use of adequate atropine will dry respiratory secretions, improve muscle weakness and thereby improve oxygenation. The following should be monitored on a regular basis to assess the patient's respiratory status:
a. Respiratory rate
b. Tidal volume/ vital capacity
c. Neck muscle weakness
d. Ocular muscle involvement eg. diplopia
e. Arterial blood gas analysis
f. Cardiac monitoring, a wide range of cardiac manifestations can occur and careful haemodynamic and electrocardiac monitoring hypoxaemia, metabolic and electrolyte abnormalities can all contribute to cardiac arrhythmias. Some arrhythmias may require cardiac pacing.
2. Decontamination:
Important part of the initial care, decontamination depends on the route of poisoning. The patient's body should then be thoroughly washed with soap and water to prevent further absorption from the skin. Washing the poisioned person and removing contaminated clothes nosocomial poisoning in staff members treating patients who have been exposed to OPCs and carbamates; the odors often smelled when one cares for a patient poisoned from pesticide are commonly due to the hydrocarbon solvent, which may cause symptoms independent of the OPC agent. The patient's clothes must be removed and isolated, and his or her body washed with soap and water.GI decontamination: Oral administration of activated charcoal is a reasonable intervention after GI poisoning. Gastric emptying should then be considered if the patient presents within 1 hour of ingestion. Gastric lavage is the only means of emptying the stomach in unconscious patients in which case the airway needs to be protected.
3. Atropine
Atropine is a pure muscarinic antagonist that competes with ACh at the muscarinic receptor.
most commonly given in intravenous (IV) form at the recommended dose of 2-5 mg for adults and 0.05 mg/kg for kids with a minimum dose of 0.1 mg to prevent reflex bradycardia. Atropine may be redosed every 5-10 minutes. Severe OP poisonings often require hundreds of milligrams of atropine. In 1 case report, a patient required frequent doses of atropine and was eventually converted to an atropine infusion to a total of 30 g over 5 days.
Most sources recommend starting atropine on patients with anything more than ocular effects and then observing the drying of secretions as an endpoint in titrating to the appropriate dose. From the Tokyo sarin experience, patients poisoned by nerve agents had modest atropine requirements, with none requiring more than 10 mg. The recommended starting dose of atropine is a 2mg IV bolus. Subsequent doses of 2-5mg every 5-15 minutes should be administered until atropinization is achieved. The signs of adequate atropinization include an increased heart rate (>100 beats/min.), moderately dilated pupils, a reduction in bowel sounds, a dry mouth and a decrease in bronchial secretions.
4. Benzodiazepines
Seizures are an uncommon complication of OP poisoning. When they occur, they represent severe toxicity.
5. Other treatments
magnesium and fresh-frozen plasma as adjunctive therapy. both must be evaluated. Nebulized ipratropium bromide as an adjunct agent.
N. Management of Organophosphorus compunds poisoning
1. Skin decontamination **
2. Airway protection if indicated **
3. Gastric lavage
4. Activated charcoal 0.5-1gm/kg every 4hr
5. Anticholinesterase: Atropine/glycopyrrolate **
6. Cholinesterase reactivator: Pralidoxine
7. Ventilatory support
8. Inotropic support
9. Benzodazepines ( if seizure) **
10. Feeding-enteral/parental
** = useful
O. Further Inpatient Care
Patients who require continuous monitoring or treatment should be admitted to the ICU. Patients with clinically significant poisoning should be evaluated frequently to monitor their airway and respiratory secretions. In addition, frequent neurologic examination should be performed to evaluate for neuromuscular blockade. Therapy is largely titrated to the physical findings. Atropinization is based on the drying of respiratory secretions, and oxime therapy is based on an improvement in neuromuscular signs. A toxicologist may be of help in determining specific aging and reactivation times of the particular OPC or carbamate agent.
P. Further Outpatient Care:
Patients without any symptoms and with questionable or minimal exposure to OPs or carbamates may be considered for discharge after 6-12 hours of observation. Patients with residual neurologic symptoms should be given a follow-up appointment with a neurologist. Follow-up with a psychiatrist should be arranged as indicated.
Q. Complications
1. Intermediate syndrome, Intermediate syndrome was first described in 1987 as a sudden respiratory paresis, with weakness in cranial nerves and proximal-limb and neck flexor muscles. These clinical features appear 24-96 hours after exposure and are distinct from the previously described delayed neurotoxicity (see below). Although intermediate syndrome is incompletely understood, more recent reports suggest this is due to presynaptic and postsynaptic dysfunction of neuromuscular transmission and that it may result from insufficient oxime treatment.
2. OPC-induced delayed neurotoxicity (OPCIDN), OPCIDN is a sensorimotor polyneuropathy that typically occurs 9-14 days after OP exposure. The patient initially presents with distal motor weakness and sensory paresthesias in the lower extremities, which may progress proximally and eventually affect the upper extremities. Most sources suggest the mechanism involves inhibition of neuropathy target esterase (NTE), an enzyme that metabolizes esters in nerve cells. Some patients may recover over 12-15 months, but permanent losses with spasticity and persistent upper motor neuron findings have been reported.
3. Pancreatitis, Pancreatitis has been reported as a rare complication. One case series reported that 12.76% of OP poisonings were associated with acute pancreatitis, though this has not been the experience in other series.
R. Prognosis
In severe poisoning, death usually occurs within the first 24 hours if it is untreated. With nerve-agent poisoning, death may occur within minutes if untreated. Even with adequate respiratory support, intensive care, and specific treatment with atropine and oximes, the mortality rate is still high in severe poisonings. A delay in treatment can also lead to late and permanent neurologic sequelae. Most patients with minimal symptoms fully recover.
S. Special Concerns
Pregnant women should receive the same treatment as that given to other adults. Both atropine and pralidoxime are class C drugs in pregnancy. In the Tokyo subway attacks, 5 pregnant women were mildly poisoned, and all had normal babies without complications.
Mata Kuliah KMB 1 S1 Keperawatan
19 komentar:
-
NAMA KELOMPOK 8/3A/s1 keperawatan:
1. DWI LISTYO CAHYONO
2. MAHBUB KURNIAWAN
3. MASLICHAH
4. NURUL FITRIYANI
Text 1:
Lulusan D3 Keperawatan lebih banyak terserap di Rumah sakit pemerintah dibandingkan S1
Dengan alasan tidak kuat menggaji lulusan S1 Keperawatan, banyak rumah sakit pemerintah dan swasta yang menyerap lulusan D3 keperawatan. Dilihat dari jumlah formasi seleksi CPNS, jumlah S1 sedikit dibutuhkan dibandingkan D3 keperawatan. Hal ini akan berdampak pada kualitas layanan asuhan keperawatan pada lingkup medikal bedah yang hanya berorientasi vokasional tidak profesional.
Text 2:
Sejak awal tahun 2000, di Kanada semua perawat kesehatan masyarakat sudah setingkat S1. Di Norwegia, 70 persen perawat rumah sakit lulusan S1. Indonesia mungkin perlu 40-50 tahun lagi untuk mencapai tingkatan itu. Kalau saat ini dipaksakan perawat profesional harus lulusan S1, hal itu tentu sangat sulit. Karena itu, lulusan D3 disebut sebagai perawat profesional pemula. Kalau ditambah pengalaman kerja tiga tahun, mereka bisa mendapatkan surat izin praktik (SIP).
Prospek dan harapan pendidikan jarak jauh Sarjana Keperawatan Indonesia untuk Perawat Indonesia di Luar negeri
Saat ini ada sekitar 250.000 jumlah perawat di Indonesia, dimana dari lulusan D3 keperawatan setiap tahunnya diluluskan 23.000 orang pertahun. Secara angka hal tersebut masih absurd jika dibandingkan jumlah lulusan Sarjana Keperawatan yang baru mencapai 6.000 orang.
Sebagai komparasinya di Kuwait saat ini ada 700 orang perawat Indonesia yang saat ini bekerja, dan hanya 7 orang diantaranya yang lulusan Sarjana Keperawatan (BSN). Padahal sejak tahun 1998 semua negara lainnya seperti India, Philipina dan Mesir menempatkan lulusan S1 Keperawatan/BSN untuk bekerja di Kuwait.
Tentu saja prospek untuk melakukan program tersebut sangat besar baik untuk perawat Indonesia yang bekerja diluar dan didalam negeri, hanya saja tinggal bagaimana kesiapan dan kebijakan pendidikan keperawatan khususnya untuk lebih bijak mensikapi tantangan tersebut.
Memang ada dualisme dimana disatu pihak penyelenggara pendidikan keperawatan dituntut untuk tetap menjaga kualitas lulusan, namun pada saat yang sama juga kuantitas Sarjana Keperawatan sudah selayaknya ditingkatkan dan diakselesari dalam jumlah.
Namun sekali lagi perawat Indonesia yang saat ini bekerja di luar negeri adalah gambaran perawat profesional, mereka skillfull, berbahasa inggris aktif, aktif online internet, memiliki wawasan global dan mewakili citra perawat Indonesia di luar negeri. Dan tentu saja ini dapat menjadi satu model untuk tenaga kerja Indonesia lainnya khususnya di sektor formal, dengan menyiapkan mereka siap dalam meningkatkan kesejahteran dan level pendidikannya di luar negeri saat dan pasca kontrak kerja
KOMENTAR:
Menurut kelompok kami banyaknya lulusan D3 yang diserap oleh rumah sakit pemerintah dikarenakan RS Pemerintah lebih mengutamakan pelayanan kesehatan. Sedangkan lulusan D3 sebagai lulusan vokasional dan sedangkan lulusan s1 keperawatan sebagai lulusan profesional yang lebih mahir dalam teori dari pada D3 keperawatan dikarenakan lulusan s1 keperawatan sebagai menegerial di Rumah Sakit. -
OLEH KELOMPOK 4 :
Hairul Hidayat
Ika Tri Hartanti
Mahfud
Marsih indaya
Umrotul Jannah
PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN
STIKES DIAN HUSADA
MOJOKERTO
2010-2011
PROGRAM SERTIFIKASI PERAWAT KEAHLIAN KHUSUS
Program sertifikasi perawat keahlian khusus.
Bermacam-macam program sertifikasi saat ini mulai berkembang dalam tatanan layanan keperawatan, khususnya pada bidang keperawatan medikal bedah misalnya sertifikasi perawat luka oleh INETNA, sertifikasi perawat anastesi, perawat emergency, perawat hemodialisa, perawat ICU, perawat ICCU, perawat instrument OK. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah standarisasi setiap sertifikasi sudah sesuai dengan kompetensi perawat profesional karena menurut analisa kami program tersebut berjalan sendiri-sendiri tanpa arahan yang jelas dari organisasi profesi dan terkesan hanya proyek dari lembaga-lembaga tertentu saja.
Berdirinya organisasi profesi keperawatan kekhususan
Sejak diakuinya perawat sebagai profesi yang profesional, saat ini mulai bermunculan organisasi profesi perawat kekhususan dalam keperawatan medikal bedah, misalnya HIPKABI (Himpunan Perawat Kamar Bedah Indonesia), InETNA (Indonesia Enterostomal Therapy Nursing Association), IOA (Indonesia Ostomy Association), dan sebagainya. Hal ini akan menjadi sarana bagi perawat untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih profesional dalam bidang garapan tertentu, namun demikian akan timbul permasalahan karena jenis keperawatan akan menjadi lebih bervariasi dan berdampak lebih luas pada organisasi keperawatan lebih luas karena akan terkesan terpetak-petak. Selain itu standar dari masing-masing kekhususnan belum jelas.
KOMENTAR KELOMPOK
Berdirinya beberapa organisasi keperawatan keahlian khusus merupakan kemajuan ilmu keperawatan dan pertanda diterimanya profesi keperawatan oleh masyarakat yang dimana organisasi tersebut akan melindungi para perawat keahlian khusus dan melalui organisasi itu pula mereka akan dapat mengembangkan pengetahuan dibidang kelimuannya masing-masing.
Namun tidak mudah untuk mencapai semua itu, karena pendidikan keperawatan keahlian khusus yang kurang memadai khusunya di indonesia keberadaan profesi keperawatan yang masih belum memiliki undang-undang keperawatan dan tenaga perawat yang terkesan sebagai ”asisten” dokter. Menjadikan profesi keperawatan di indonesia jalan ditempat.
Selain itu sistem sertifikasi perawat keahlian khusus belum tertata dengan baik, standarisasi sertifikasi setiap keahlian masih dipertanyakan. Hal ini akan menjadi suatu permasalahan yang serius karena jika para perawat kehlian khusus tidak memiliki kompetensi yang baik dibidangnya akan mencoret citra organisasi keperawatan. Peran organisasi keperawatan dalam hal ini PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dipertanyakan dan dituntut untuk segera memperbaiki system sertifikasi perawat keahlian khusus dan sisterm yang lainnya. -
PROGRAM SERTIFIKASI PERAWAT KEAHLIAN KHUSUS
OLEH KELOMPOK 4 :
Hairul Hidayat
Ika Tri Hartanti
Mahfud
Marsih indaya
Umrotul Jannah
PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN
STIKES DIAN HUSADA
MOJOKERTO
2010-2011
PROGRAM SERTIFIKASI PERAWAT KEAHLIAN KHUSUS
Program sertifikasi perawat keahlian khusus.
Bermacam-macam program sertifikasi saat ini mulai berkembang dalam tatanan layanan keperawatan, khususnya pada bidang keperawatan medikal bedah misalnya sertifikasi perawat luka oleh INETNA, sertifikasi perawat anastesi, perawat emergency, perawat hemodialisa, perawat ICU, perawat ICCU, perawat instrument OK. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah standarisasi setiap sertifikasi sudah sesuai dengan kompetensi perawat profesional karena menurut analisa kami program tersebut berjalan sendiri-sendiri tanpa arahan yang jelas dari organisasi profesi dan terkesan hanya proyek dari lembaga-lembaga tertentu saja.
Berdirinya organisasi profesi keperawatan kekhususan
Sejak diakuinya perawat sebagai profesi yang profesional, saat ini mulai bermunculan organisasi profesi perawat kekhususan dalam keperawatan medikal bedah, misalnya HIPKABI (Himpunan Perawat Kamar Bedah Indonesia), InETNA (Indonesia Enterostomal Therapy Nursing Association), IOA (Indonesia Ostomy Association), dan sebagainya. Hal ini akan menjadi sarana bagi perawat untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih profesional dalam bidang garapan tertentu, namun demikian akan timbul permasalahan karena jenis keperawatan akan menjadi lebih bervariasi dan berdampak lebih luas pada organisasi keperawatan lebih luas karena akan terkesan terpetak-petak. Selain itu standar dari masing-masing kekhususnan belum jelas.
KOMENTAR KELOMPOK
Berdirinya beberapa organisasi keperawatan keahlian khusus merupakan kemajuan ilmu keperawatan dan pertanda diterimanya profesi keperawatan oleh masyarakat yang dimana organisasi tersebut akan melindungi para perawat keahlian khusus dan melalui organisasi itu pula mereka akan dapat mengembangkan pengetahuan dibidang kelimuannya masing-masing.
Namun tidak mudah untuk mencapai semua itu, karena pendidikan keperawatan keahlian khusus yang kurang memadai khusunya di indonesia keberadaan profesi keperawatan yang masih belum memiliki undang-undang keperawatan dan tenaga perawat yang terkesan sebagai ”asisten” dokter. Menjadikan profesi keperawatan di indonesia jalan ditempat.
Selain itu sistem sertifikasi perawat keahlian khusus belum tertata dengan baik, standarisasi sertifikasi setiap keahlian masih dipertanyakan. Hal ini akan menjadi suatu permasalahan yang serius karena jika para perawat kehlian khusus tidak memiliki kompetensi yang baik dibidangnya akan mencoret citra organisasi keperawatan. Peran organisasi keperawatan dalam hal ini PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dipertanyakan dan dituntut untuk segera memperbaiki system sertifikasi perawat keahlian khusus dan sisterm yang lainnya. -
Home Care / Perawatan Kesehatan di Rumah
1. Pengertian
Perawatan kesehatan di rumah merupakan salah satu jenis dari perawatan jangka panjang (Long term care) yang dapat diberikan oleh tenaga profesional maupun non profesional yang telah mendapatkan pelatihan. Perawatan kesehatan di rumah yang merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan adalah suatu komponen rentang pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan serta memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit termasuk penyakit terminal. Pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individual dan keluarga, direncanakan, dikoordinasi dan disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi home care melalui staf atau pengaturan berdasarkan perjanjian atau kombinasi dari keduanya (Warhola C, 1980).
Sherwen (1991) mendefinisikan perawatan kesehatan di rumah sebagai bagian integral dari pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat mencapai kemandirian dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang mereka hadapi. Sedangkan Stuart (1998) menjabarkan perawatan kesehatan di rumah sebagai bagian dari proses keperawatan di rumah sakit, yang merupakan kelanjutan dari rencana pemulangan (discharge planning), bagi klien yang sudah waktunya pulang dari rumah sakit. Perawatan di rumah ini biasanya dilakukan oleh perawat dari rumah sakit semula, dilaksanakan oleh perawat komunitas dimana klien berada, atau dilaksanakan oleh tim khusus yang menangani perawatan di rumah.
Menurut American of Nurses Association (ANA) tahun 1992 pelayanan keseatan di rumah adalah perpaduan perawatan kesehatan masyarakat dan ketrampilan teknis yang terpilih dari perawat spesialis yang terdiri dari perawat komunitas, perawat gerontologi, perawat psikiatri, perawat maternitas dan perawat medikal bedah. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan perawatan kesehatan di rumah adalah :
Suatu bentuk pelayanan kesehatan yang komprehensif bertujuan memandirikan klien dan keluarganya,
Pelayanan kesehatan diberikan di tempat tinggal klien dengan melibatkan klien dan keluarganya sebagai subyek yang ikut berpartisipasi merencanakan kegiatan pelayanan,
Pelayanan dikelola oleh suatu unit/sarana/institusi baik aspek administrasi maupun aspek pelayanan dengan mengkoordinir berbagai kategori tenaga profesional dibantu tenaga non profesional, di bidang kesehatan maupun non kesehatan (Depkes, 2002).
Pelayanan keperawatan yang diberikan meliputi pelayanan primer, sekunder dan tersier yang berfokus pada asuhan keperawatan klien melalui kerjasama dengan keluarga dan tim kesehatan lainnya. Perawatan kesehatan di rumah adalah spektrum kesehatan yang luas dari pelayanan sosial yang ditawarkan pada lingkungan rumah untuk memulihkan ketidakmampuan dan membantu klien yang menderita penyakit kronis (NAHC, 1994).
Menurut Departemen Kesehatan (2002) menyebutkan bahwa home care adalah pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit.
Pelayanan diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien atau keluarga yang direncanakan dan dikoordinasi oleh pemberi pelayanan melalui staf yang diatur berdasarkan perjanjian bersama. Sedangkan menurut Neis dan Mc Ewen (2001) menyatakan home health care adalah sistem dimana pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial diberikan di rumah kepada orang-orang yang cacat atau orang-orang yang harus tinggal di rumah karena kondisi kesehatannya. -
Lanjutan :Home Care / Perawatan Kesehatan di Rumah
3. Manfaat pelayanan home care
Berbagai keuntungan dari pelayanan home care bagi klien menurut Setyawati (2004) antara lain:
1) Pelayanan akan lebih sempurna, holistik dan komprehensif
2) Pelayanan keperawatan mandiri bisa diaplikasikan dengan di bawah naungan legal dan etik keperawatan
3) Kebutuhan klien akan dapat terpenuhi sehingga klien akan lebih nyaman dan puas dengan asuhan keperawatan yang profesional
4. Ruang lingkup pelayanan home care
Menurut Nuryandari (2004) menyebutkan ruang lingkup pelayanan home care adalah: pelayanan medik; pelayanan dan asuhan keperawatan; pelayanan sosial dan upaya menciptakan lingkungan terapeutik; pelayanan rehabilitasi medik dan keterapian fisik; pelayanan informasi dan rujukan; pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kesehatan; higiene dan sanitasi perorangan serta lingkungan; pelayanan perbantuan untuk kegiatan sosial.
5. Bentuk pelayanan home care
Berbagai bentuk pelayanan home care yang dapat dilakukan di rumah. Tindakan tersebut antara lain: pengukuran tanda-tanda vital; pemasangan atau penggantian selang lambung (NGT); pemasangan atau penggantian kateter; pemasangan atau penggantian tube pernafasan; perawatan luka dekubitus atau ulcer dan jenis luka lainnya; penghisapan lendir dengan atau tanpa mesin; pemasangan peralatan oksigen; penyuntikan (IM, IV, Sub kutan); pemasangan atau penggantian infus; pengambilan preparat laboratorium (urin, darah, tinja, dll); pemberian huknah; perawatan kebersihan diri (mandi, keramas, dll); latihan atau exercise, fisioterapi, terapi wicara, dan pelayanan terapi lainnya; transportasi klien; pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perawatan kesehatan; konseling pada kasus-kasus khusus; konsultasi melalui telepon; memfasilitasi untuk konsultasi ke dokter; menyiapkan menu makanan; menyiapkan dan membersihkan tempat tidur; memfasilitasi terhadap kegiatan sosial atau mendampingi; memfasilitasi perbaikan sarana atau kondisi kamar atau rumah. -
Lanjutan :Home Care / Perawatan Kesehatan di Rumah
6.Pemberi pelayanan home care
Pelayanan kesehatan ini diberikan oleh para professional yang tergabung dalam tim home care. Menurut Setyawati (2004) tim home care tersebut antara lain:
1) Kelompok profesional kesehatan, termasuk di dalamya adalah ners atau perawat profesional, dokter, fisioterapis, ahli terapi kerja, ahli terapi wicara, ahli gizi, ahli radiologi, laboratorium, dan psikolog.
2) Kelompok profesional non kesehatan, yaitu pegawai sosial dan rohaniawan atau ahli agama.
3) Kelompok non profesional, yaitu nurse assistant yang bertugas sebagai pembantu yang menunggu untuk melayani kebutuhan atau aktivitas sehari-hari dari klien. Kelompok ini bekerja di bawah pengawasan dan petunjuk dari perawat.
Sedangkan menurut Allender (1997) pemberi pelayanan dalam home health care meliputi: 1) pelayanan keperawatan dapat diberikan oleh registered nurse, perawat vokasional, pembantu dalam home health yang disupervisi oleh perawat; 2) suplemental therapiest meliputi terapi fisik, terapi wicara, terapi okupasional, dan terapi rekreasi; 3) pelayanan pekerja sosial. -
Lanjutan :Home Care / Perawatan Kesehatan di Rumah
7. Perkembangan Perawatan Kesehatan di Rumah
Sejauh ini bentuk-bentuk pelayanan kesehatan yang dikenal masyarakat dalam sistem pelayanan kesehatan adalah pelayanan rawat inap dan rawat jalan. Pada sisi lain banyak anggota masyarakat yang menderita sakit karena berbagai pertimbangan terpaksa dirawat di rumah dan tidak dirawat inap di institusi pelayanan kesehatan. Faktor-faktor yang mendorong perkembangan perawatan kesehatan di rumah adalah :
Kasus-kasus penyakit terminal dianggap tidak efektif dan tidak efisien lagi apabila dirawat di institusi pelayanan kesehatan. Misalnya pasien kanker stadium akhir yang secara medis belum ada upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai kesembuhan,
Keterbatasan masyarakat untuk membiayai pelayanan kesehatan pada kasus-kasus penyakit degeneratif yang memerlukan perawatan yang relatif lama. Dengan demikian berdampak pada makin meningkatnya kasus-kasus yang memerlukan tindak lanjut keperawatan di rumah. Misalnya pasien pasca stroke yang mengalami komplikasi kelumpuhan dan memerlukan pelayanan rehabilitasi yang membutuhkan waktu relatif lama,
Manajemen rumah sakit yang berorientasi pada profit, merasakan bahwa perawatan klien yang sangat lama (lebih 1 minggu) tidak menguntungkan bahkan menjadi beban bagi manajemen,
Banyak orang merasakan bahwa dirawat inap di institusi pelayanan kesehatan membatasi kehidupan manusia, karena seseorang tidak dapat menikmati kehidupan secara optimal karena terikat dengan aturan-aturan yang ditetapkan,
Lingkungan di rumah ternyata dirasakan lebih nyaman bagi sebagian klien dibandingkan dengan perawatan di rumah sakit, sehingga dapat mempercepat kesembuhan (Depkes, 2002).
Perawatan kesehatan di rumah bertujuan :
1. Membantu klien memelihara atau meningkatkan status kesehatan dan kualitas hidupnya,
2. Meningkatkan keadekuatan dan keefektifan perawatan pada anggota keluarga dengan masalah kesehatan dan kecacatan,
3. Menguatkan fungsi keluarga dan kedekatan antar keluarga,
4. Membantu klien tinggal atau kembali ke rumah dan mendapatkan perawatan yang diperlukan, rehabilitasi atau perawatan paliatif,
5. Biaya kesehatan akan lebih terkendali.
Secara umum lingkup perawatan kesehatan di rumah dapat di kelompokkan sebagai berikut :
1. Pelayanan medik dan asuhan keperawatan
2. Pelayanan sosial dan upaya menciptakan lingkungan yang terapeutik
3. Pelayanan rehabilitasi dan terapi fisik
4. Pelayanan informasi dan rujukan
5. Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kesehatan
6. Higiene dan sanitasi perorangan serta lingkungan
7. Pelayanan perbaikan untuk kegiatan sosial
Menurut Rice R (2001) jenis kasus yang dapat dilayani pada perawatan kesehatan di rumah meliputi kasus-kasus yang umum pasca perawatan di rumah sakit dan kasus-kasus khusus yang di jumpai di komunitas.
Kasus umum yang merupakan pasca perawatan di rumah sakit adalah:
• Klien dengan penyakit obstruktif paru kronis,
• Klien dengan penyakit gagal jantung,
• Klien dengan gangguan oksigenasi,
• Klien dengan perlukaan kronis,
• Klien dengan diabetes,
• Klien dengan gangguan fungsi perkemihan,
• Klien dengan kondisi pemulihan kesehatan atau rehabilitasi,
• Klien dengan terapi cairan infus di rumah,
• Klien dengan gangguan fungsi persyarafan,
• Klien dengan HIV/AIDS.
Sedangkan kasus dengan kondisi khusus, meliputi :
• Klien dengan post partum,
• Klien dengan gangguan kesehatan mental,
• Klien dengan kondisi usia lanjut,
• Klien dengan kondisi terminal.
kelompok 1 :
1. A.fauzi ismail
2. Amrina Rosyada
3. Yusuf Elyas M
4. Yenita Malaisya N -
Nama kelompok 5 KMB I SI Keperawatan
1. Agus Sugianto
2. Ahmad Riyadhi
3. Khusnul Imaroh
4. Roswita Intan M.
Pemakaian tap water (air keran) dan betadine yang diencerkan pada luka.
Beberapa klinisi menganjurkan pemakaian tap water untuk mencuci awal tepi luka sebelum diberikan NaCl 0,9 %. Hal ini dilakukan agar kotoran-kotoran yang menempel pada luka dapat terbawa oleh aliran air. Kemudian dibilas dengan larutan povidoneiodine yang telah diencerkan dan dilanjutkan irigasi dengan NaCl 0,9%. Akan tetapi pemakaian prosedur ini masih menimbulkan beberapa kontroversi karena kualitas tap water yang berbeda di beberapa tempat dan keefektifan dalam pengenceran betadine. Belum ada dokumentasi keperawatan yang baku sehingga setiap institusi rumah sakit mengunakan versi atau modelnya sendiri-sendiri,
Komentar dari kelompok kami adalah adanya issue tentang pemakain tap water pada perawatn luka di rumah sakit hendaknya lebih di koreksi lagi baik dari segi kesterilan dan higienisan kualitas tap water pada setiap rumah sakit. Metode sebenarnya mempermudah kerja perawat dalam melaksanakan asuhan pada pasien rawat luka, namun dari beberapa segi kualitas yang berbeda pada tiap rumah sakit menjadikan asuhan keperawatn yang dilaksanakan menjadi membingungkan. Untuk itu perlu adanya pengawasan dari tenaga kesehatan yang intensif dalam pelaksanaan asuhan agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan asuhan .
Disusun oleh kelompok 5 / 3A
Agus sugianto
Khusnul imaroh
S1 KEPERAWATAN
STIKES DIAN HUSADA MOJOKERTO -
MAKALAH KMB I
“DOKUMENTASI KEPERAWATAN YANG BAKU SEHINGGA SETIAP INSTITUSI RUMAH SAKIT MENGGUNAKAN VERSI ATAU MODELNYA SENDIRI - SENDIRI”
Disusun oleh:
1. Fany pradana
2. Leni wijayanti
3. Samsul arifin
4. Yuliati
Dokumentasi Keperawatan merupakan suatu kumpulan dokumen yang mencatat semua pelayanan keperawatan klien yang mempunyai banyak manfaat dan penggunaan. Kegiatan pendokumentasiaan ini meliputi keterampilan berkomunikasi, keterampilan mendokumentasikan proses keperawatan, dan keterampilan standar. Perawat perlu memberikan prioritas terhadap ketempilan tersebut.
Praktik keperawatan medikal bedah tumbuh terutama sebagai keperawatan bagi orang yang telah mencapai kedewasaan jasmani atau telah berkembang, bagi yang beresiko atau mengalami variasi norma yang ditentukan mengenai fungsi fisik dan yang membutuhkan intervensi pengobatan medikal atau bedah.
Dokumentasi asuhan keperawatan medikal bedah terdiri dari:
1. Pengkajian
2. Diagnosa
3. Perencanaan
4. Implementasi
5. Evaluasi
a. Trend Keperawatan Medikal Bedal Bedah dan Dampaknya di Indonesia.
Beberapa trend yang terjadi dalam Keperawatan Medikal Bedah di Indonesia, diantaranya adalah: telenursing, Prinsip Moisture Balance dalam Perawatan Luka, Pencegahan HIV-AIDS pada Remaja dengan Peer Group, Program sertifikasi perawat keahlian khusus, Hospice Home Care, One Day Care, Klinik HIV, Klinik Rawat Luka, Berdirinya organisasi profesi keperawatan kekhususan, Pengembangan Evidence Based Nursing Practice di Lingkungan Rumah Sakit dalam Lingkup Keperawatan Medikal Bedah. Disadari bahwa semua trend tersebut belum seutuhnya diterapkan dalam pelayanan keperawatan di seluruh Indonesia.
b. Isu dalam Keperawatan Medikal Bedah dan Dampaknya di Indonesia
Beberapa isue yang berkembang dalam Keperawatan Medikal Bedah di Indonesia, antara lain: Pemakaian tap water (air keran) dan betadine yang diencerkan pada luka, Belum ada dokumentasi keperawatan yang baku sehingga setiap institusi rumah sakit mengunakan versi atau modelnya sendiri-sendiri, Prosedur rawat luka adalah kewenangan dokter, Euthanasia: suatu issue kontemporer dalam keperawatan, Pengaturan sistem tenaga kesehatan, Lulusan D3 Keperawatan lebih banyak terserap di Rumah sakit pemerintah dibandingkan S1, dan Peran dan tanggung jawab yang belum ditetapkan sesuai dengan jenjang pendidikan sehingga implikasi di rs antara DIII, S1 dan Spesialis belum jelas terlihat.
Komentar:
Belum adanya dokumentasi keperawatan yang baku menyebabkan setiap rumah sakit menggunakan model dokumentasi keperawatan sendiri-sendiri,itu hanya isu dalam Keperawatan Medikal Bedah. dokumentasi keperawatan sangat penting untuk bukti ,perawat telah melakukan tindakan sesuai dengan prosedur, jadi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,dokumentasi keperawatan dapat digunakan.untuk itu dokumentasi keperawatan seharusnya ada :
1.Pengkajian
2. Diagnosa
3. Perencanaan
4. Implementasi
5. Evaluasi
Untuk setiap rumah sakit -
TUGAS KMB I KELOMPOK 7 KEAS 3B SI KEPERAWATAN
NAMA KELOMPOK : 1. Billy Capry
2. Moh. Roni al faqih
3. Nurul ayun
4. Rudi priyanto
5. Usfuriati K
1. Lulusan D3 lebih banyak diserah di RS Pemerintah dari pada lulusan S1 Keperawatan
Lulusan Program Diploma III juga memiliki keunggulan, baik secara kualitatif sebagai tenaga ahli menengah memiliki kemampuan teknis, ketrampilan dan profesionalitas yang kuat, maupun secara kuantitatif menempati posisi strategis dan proporsi yang cukup besar dalam struktur ketenaga kerjaan di Indonesia, sehingga lulusan program ini lebih mudah diserap di pasar kerja. Lebih-lebih dalam menyongsong semakin berkembangnya industri kecil, menengah, maupun industri besar, didorong dengan semakin tingginya tuntutan penggunaan information technology (IT) pada dunia industri, lembaga keuangan, maupun instansi pemerintah, sehingga tenaga ahli maupun praktisi yang memiliki ketajaman berfikir, professionalitas yang tinggi dan kinerja yang handal, menjadi semakin dibutuhkan. Peciptaan lulusan yang professional akan menarik dunia industri maupun lembaga/instansi pemerintah untuk menyerap lulusan Program Diploma-III
2. fakta-fakta yang terjadi di lapangan
a. Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup mencengangkan. Hingga tahun 2005 mencapai 100 ribu orang. Ini disebabkan rendahnya pertumbuhan rumah sakit dan lemah berbahasa asing. Padahal setiap tahun, dari 770 sekolah perawat yang ada di Indonesia, lulusannya mencapai 25 ribu perawat. Ironisnya, data WHO 2005 menunjukkan bahwa dunia justru kekurangan 2 juta perawat, baik di AS, Eropa, Australia dan Timur Tengah. (Arifin Badri).
b. Fakta lain di lapangan, saat ini banyak tenaga perawat yang bekerja di rumah sakit dan puskesmas dengan status magang (tidak menerima honor seperserpun) bahkan ada rumah sakit yang meminta bayaran kepada perawat bila ingin magang. Alasan klasik dari pihak rumah sakit “mereka sendiri yang datang minta magang”. Dilematis memang, tinggal di rumah menganggur sayang, magang di rumah sakit/puskesmas tidak dapat apa-apa.
3. Komentar kelompok kami
Seharusnya untuk keunggulan S1 lebih ditingkatkan , baik secara kualitatif sebagai tenaga ahli menengah memiliki kemampuan teknis, ketrampilan dan profesionalitas yang kuat, maupun secara kuantitatif menempati posisi strategis dan proporsi yang cukup besar dalam struktur ketenaga kerjaan di Indonesia, sehingga lulusan program ini lebih mudah diserap di pasar kerja.Karena S1 tingkatannya lebih tinggi dibandingkan D3, apalagi dengan isu – isu -
TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
“One Day Care”
Kelompok 2
Nama anggota kelompok : Agustino
Inge Arista
Moh. Ismail
Siti Sofia
Keperawatan sebagai profesi dituntut untuk mengembangkan keilmuannya sebagai
wujud kepeduliannya dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia baik dalam
tingkatan preklinik maupun klinik. Untuk dapat mengembangkan keilmuannya
maka keperawatan dituntut untuk peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
di lingkungannya setiap saat.
Keperawatan medikal bedah sebagai cabang ilmu keperawatan juga tidak terlepas
dari adanya berbagai perubahan tersebut, seperti teknologi alat kesehatan,
variasi jenis penyakit dan teknik intervensi keperawatan. Adanya berbagai
perubahan yang terjadi akan menimbulkan berbagai trend dan isu yang
menuntut peningkatan pelayanan asuhan keperawatan
One Day Care merupakan sistem pelayanan kesehatan dimana pasien tidak memerlukan perawatan lebih dari satu hari. Biasanya dilakukan pada kasus minimal seperti kasus DBD yang hanya membutuhkan perawatan 1×24 jam, pelayanan kesehatan dengan one day care juga dapat dilakukan pada kasus seperti setelah menjalani operasi pembedahan dan perawatan, setelah itu pasien boleh pulang.
One Day Care (ODC) adalah suatu fasilitas pelayanan di rehabilitas medik kepada pasien yang memerlukan layanan rehabilitasi medik dalam waktu satu hari dan disediakan ruang istirahat.
Adapun paket ODC adalah sebagai berikut :
1. Hidroterapi
2. Terapi Okupasi / Terapi wicara
3. Balance terapi
4. Psikologi
Komentar dari kelompok kami adalah perawatan dengan menggunakan sistem One Day Care dirasa cukup efektif untuk penanganan kasus-kasus minimal yang hanya membutuhkan perawatan 1×24 jam seperti kasus DBD yang secara keseluruhannya tidak memerlukan perawatan inap, mengingat pelayanan dan tenaga medis yang tersedia di rumah sakit kadang masih terbatas bahkan kurang sehingga tidak menimbulkan penumpukan pasien pada rumah sakit. Dengan adanya One Day Care diharapkan dapat memudahkan kerja perawat di dalam memberikan asuhan keperawatan dan meringankan biaya pasien karena mereka tidak lagi membayar biaya inap terlalu banyak dan biaya perawatan dapat ditekan seminimal mungkin, mereka hanya membayar biaya perawatan selama 1×24 jam.Selanjutnya Pasien yang dirawat selama 24 jam ini hanya membutuhkan asuhan keperawatan dengan pemantauan tanda klinis, laboratorium, dan pemberian cairan yang ketat pada kasus DBD serta kasus-kasus mimimal lainnya. -
Nama kelompok 5 KMB I SI Keperawatan 3B
1. Khoirun nisya’
2. Listya Ernawati
3. Moh.Khamim
4. Novveryadi H
Pemakaian tap water (air keran) dan betadine yang diencerkan pada luka.
Beberapa klinisi menganjurkan pemakaian tap water untuk mencuci awal tepi luka sebelum diberikan NaCl 0,9 %. Hal ini dilakukan agar kotoran-kotoran yang menempel pada luka dapat terbawa oleh aliran air. Kemudian dibilas dengan larutan povidoneiodine yang telah diencerkan dan dilanjutkan irigasi dengan NaCl 0,9%. Akan tetapi pemakaian prosedur ini masih menimbulkan beberapa kontroversi karena kualitas tap water yang berbeda di beberapa tempat dan keefektifan dalam pengenceran betadine.
Komentar dari kelompok kami adalah dengan pemakaian tap water dan betadine yang diencerkan pada luka di Rumah sakit hendaknya harus melihat kesterilan dan kehignisan air tap water tersebut. Sebenarnya metode tersebut mempermudah perawat melakukan asuhan pada pasien rawat luka, namun setiap rumah sakit mempunyai beberapa segi kualitas yang berbeda pada asuhan keperawatan . Untuk itu perlu adanya pengawasan dari tenaga kesehatan yang intensif dalam pelaksanaan asuhan agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan asuhan . -
TUGAS KMB 1
KLINIK HIV
OLEH :
KELOMPOK 3
AHMAD LUTFI KHOIRON
HARI BUDIONO
INTAN PERMATASARI
YANTI VINA HIMAMAH
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Maka dari itu klinik HIV/ klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) disarana kesehatan sangat dibutuhkan bagi pasien HIV/AIDS yang sudah terdiagnosis maupun pada kelompok yang beresiko tinggi agar mau melaksanakan tes, bersikap terbuka, dan bersedia mencari pertolongan dokter. Menurut AUSAID (2002), konseling merupakan salah satu program pengendalian HIV/AIDS. pengobatan, dukungan, dan perawatan dilakukan melalui klinik VCT
.
.
BAB 2
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian tentang Klinik HIV atau Klinik VCT
Komitmen nasional dan internasional, kecepatan penyebaran HIV/AIDS, terutama pada kelompok berisiko tinggi, mendapat perhatian utama dari pemerintah. Tanggapan nasional terhadap tingginya tingkat penyebaran penyakit ini adalah cermin dari komitmen internasional, khususnya “Declaration of commitment” pada Deklarasi ASEAN tentang HIV/AIDS (2001). Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia terdiri atas upaya pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS dilakukan melalui klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing).
.
1.2 Tahap-tahap VCT (Voluntary Counseling Testing)
1. Sebelum Deteksi HIV (Pra-Konseling)
Pra konseling juga disebut juga pencegahan HIV/AIDS. Dua hal yang penting dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang menyebabkan dapat klien berisisko tinggi terinfeksi HIV/AIDS dan apakah klien mengetahui tentang HIV/AIDS dengan benar.
Terdapat beberapa tujuan dilakukannya konseling pra-tes pada klien yang akan melakukan tes HIV/AIDS. Tujuan tersebut adalah agar:
a. Klien memahami benar kegunaan tes HIV/AIDS
b. Klien dapat menilai resiko dan mengerti persoalan dirinya
c. Klien dapat menurunkan rasa kecemasannya
d. Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupanya
e. Klien memilih dan memahami apakah ia akan melakukan tes darah HIV/AIDS atau tidak.
Lima Prinsip Praktis Konseling pra-tes HIV
Ada lima prinsip penting yang biasa dilakukan saat konseling pra-tes HIV. Yaitu :
1. Motif dari klien HIV/AIDS
Klien yang secara sukarela (voluntary) dan secara paksa (compulsory) mempunyai perasaan yang berbeda dalam menghadapi segala kemungkinan, baik pra-tes atau pasca-tes.
2. Interpretasi hasil pemeriksaan
a. Uji saring atau skrining dan tes konfermasi
b. Asimtomatik atau gejala nyata (Full Blown Symptom)
c. Tidak dapat disembuhkan (HIV) tetapi masih dapat diobati (infeksi sekunder)
3. Estimasi hasil
a. Pengkajian risiko bukan hasil diharapkan
b. Masa jendela.
4. Rencana ketika hasil diperoleh
Apa yang akan dilakukan oleh klien ketika telah mengetahui hasil pemeriksaan, baik positif maupun negatif.
5. Pembuatan keputusan
Klien dapat memutuskan untuk mau dan tidak mau diambil darahnya guna dilakukan pemeriksaan HIV.
2. Deteksi HIV (sesuai keinginan klien dan setelah klien menandatangani lembar persetujuan-informed consent)
Tes HIV harus bersifat :
1) Sukarela : orang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atau kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan/ tekanan orang lain. dan harus mengetahui hal-hal apa saja yang mencakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari tes, serta apa saja implikasi dari hasil tes yang positif ataupu hasil tes yang negatif.
2) Rahasia : apapun hasil tes ini, baik postif maupun negatif, hanya boleh diberitahulangsung kepada orang yang bersangkutan
3) Tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, baik orang tua/ pasangan, atasan, atau siapa pun.
BAB 3
PENUTUP
Klinik VCT bertujuan untuk mencegah penularan HIV, mengubah perilaku ODHA, pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka, meningkatkan kualitas hidup ODHA. Dan perawat merupakan faktor yang berperan penting dalam klinik VCT karena dapat memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya. -
KELOMPOK:
1. DINA ERVIANA
2. FARID FATONI
3. MILA LUTFIAH
4. ARYA ENJIS
5. EKO SUTRISNO
EUTHANASIA
PENGERTIAN
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani , yaitu gabungan dari dua kata eu berarti baik, indah, bagus, terhormat dan thanatos berarti mati,mayat.
Kemudian pengertian istilah ini berkembang menjadi mengakhiri hidup tanpa penderitaan. Lengkapnya euthanasia diartikan perbuatan mengakhirikehidupan seseorang untuk menghentikan penderitaan .Akan tetapi,ini sering diartikan pengakhiran kehidupan karena kasihan atau membiarkan orang mati.
Di Indonesia menurut kode etik kedokteran Indonesia, istilah euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu :
1 .berpidah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir
2. ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit yang diringankan dengan memberikan obat penengan, dan
3. mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK
Untuk menegakkan diagnosis mati batang otak diperlukan tiga langkah, yaitu sebagai berikut:
1. Meyakinkan bahwa terdapat prakondisi tertentu, yaitu:
a. Pasien dalam keadaan koma dan henti nafas, yaitu tidak responsive walaupun sudah dibantu dengan ventilator.
b. Penyebabnya adalah kerusakan otak structural yang tidak dapat diperbaiki lagi karena gangguan yang dapat menuju mati batang otak.
2. Menyingkirkan penyebab koma dengan henti nafas yang irreversible, dan
3. Memastikan arefleksi batang otak dan henti nafasyang menetap.
Adapun tanda – tanda menghilangnya fungsi batang otak adalah sebagai berikut:
1. Terjadi koma.
2. Tidak ada sikap abnormal (dekortikasi, deserebrasi).
3. Tidak ada sentakan epileptik.
4. Tidak ada reflek batang otak.
5. Tidak ada nafas spontan.
Apabila tanda – tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka
PANDANGAN TENTANG EUTHANASIA
Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Alas an yang dikemukakan oleh masing – masing kelompok adalah sebagai berikut:
1. Yang tidak menyetujui tindakan euthanasia
Kelompok ini berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung.Oleh karena itu, tindakan ini bertentangan dengan kehendak Tuhan.Kelompok ini berpendapat bahwa hidup adalah semata – mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tak satu orang atau institusi pun yang berhak mencabutnya bagaimanapun keadaan penderita tersebut.Dikatakan pula manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati.
2. Yang menyetujui euthanasia
Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien.Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk mendeerita.Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien dengan risiko hidupnya diperbaiki.
Dalam hal ini tampak adanya batasan karena adanya sesuatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan batasan karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu kesatuan pendapat etis sepanjang masa.
Di dalam Voluntary Euthanasia act (1969), kelompok yang setuju dengan euthanasia menampilkan dua pandangan:
1. Perasaan kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secaramedis tidak mempunyai harapan untuk pulih.
2. Perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungan dengan suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi. -
Menurut Fletcher tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti berikut:
1. Langsung dan sukarela
Cara ini memberi jalan kematian yang dipilih pasien.Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
2. Sukarela tapi tidak langsung
Pasien diberi tahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya.
3. Langsung tetapi tidak sukarela
Cara ini dilakukan tanpa sepengetahuan pesien, misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
4. Tidak langsung dan tidak sukarela
Cara ini merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.
Sekitar 80% dokter di Amerika menyetujui, bahkan pernah mempraktekkan, euthanasia negative, dan 18% setuju euthanasia bila mereka mendapat kesempatan. Dibeberapa Negara Barat, euthanasia tidak lagi di anggap sebagai pembunuhan. Bahkan, hal ini sudah di atur dalam suatu hokum pidana.
Tipe 4.Penolakan perawatan medis (sering disebut autoeuthanasia).
Meskipun pseudo-euthanasia ini masih menjadi bahan perdebatan diantara para ahli hukum, tetapi seyogianya hal tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan undang – undang tentang euthanasia.
EUTHANASIA MENURUT ETIKDAN HUKUM KEDOKTERAN DI INDONESIA
Peraturan pemerintah Tahun 1969 tentabg Lafal Sumpah Dokter Indonesia yangsama bunyinya dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sydney 1968 menyebutkan bahwa “Saya akan membangtikan hidup saya guna kepentingan prikemanusiaan……..”
“Saya akan menghormati setiap hidup insane mulai dari saat pembuahan”.
.
Dengan demikian, dasar etik untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat Profesor Olga Lelacic yang menyatakan bahwa dlam keadaan pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya , sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari penderitaan karena penyakitnya. Sampai saat ini belum ada aturan hukum di indonesia yang mengatur baik euthanasia. Pasal – pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan di larang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut ini bunyi pasal – pasal KUHP itu.
Pasal 338 : barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama – lamanya lima belas tahun
Pasal 340 : barangsiapa dengan sengajaaaaaa dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana,dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjra sementara selama- lamanya dua puluh tahun
Pasal 344 :barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang di sebutkan dengan nyata dan sungguh – sungguh, di hukum penjara selama – lamanya dua belas tahun
Pasal 345 : barangsiapa dengan sengaja membujuk oranglain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan atau memberi sarana kepadanya untuk itu, di ancam dengan pidana penjara paling lama empat puluh tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 359 : menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, di pidana dengan pidana penjara selama – lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama – lamanya satu tahun. -
”Telenursing”
Disusun Oleh :
1. Nira krisiyanti
2. Dwi Anis
3. Setiabudi
4. Erik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam beberapa tahun terakhir ini profesi keperawatan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hail ini dikarenakan adanya pengaruh globalisasi dimana tuntutan masyarakat akan profesi keperawatan untuk berbenah diri. Tuntutan yang paling mendasar dan paling menantang adalah menyangkut layanan keperawatan yang professional, bermutu dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Perawat semakin dituntut untuk professional dan mengedepankan perkembangan tehnologi kesehatan, dimana pasien/klien yang membutuhkan asuhan keperawatan dapat berasal dari berbagai kalangan. Dengan semakin berkembangnya penggunaan internet diikuti pula perkembangan. dalam dunia kesehatan dan keperawatan. Telemedicine, telehealth dan telenursing menjadi alternative dalam memberikan pelayanan kesehatan dan keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Telenursing adalah pemberian servis dan perawatan oleh perawat dengan menggunakan telekomunikasi, meningkatkan akses untuk tindakan keperawatan kepada pasien pada lokasi yang jauh atau perpencil.
Telenursing adalah upaya penggunaan teknologi informasi dalam memberikan pelayanan keperawatan dalam bagian pelayanan kesehatan dimana ada jarak secara fisik yang jauh antara perawat dan pasien, atau antara beberapa perawat. Sebagai bagian dari telehealth dan beberapa bagian terkait dengan aplikasi bidang medis dan non medis seperti telediagnosis, telekonsultasi dan telemonitoring.
Telenursing menunjukkan penggunaan tehnologi komunikasi oleh perawat untuk meningkatkan perawatan pasien. Telenursing menggunakan channel elektromagnetik (wire, radio, optical) untuk mengirim suara, data dan sinyal video komunikasi. Dapat juga didefinisikan sebagai komunikasi jarak jauh menggunakan transmisi elektrik atau optic antara manusia dan atau computer.
2.2 Keuntungan
Telenursing dapat mengurangi biaya perawatan, mengurangi hari rawat di RS, peningkatan jumlah cakupan pelayanan keperawatan dalam jumlah yang lebih luas dan merata, dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan di rumah (home care)
Menurut Britton et all (1999), ada beberapa keuntungan telenursing yaitu :
1. Efektif dan efisien dari sisi biaya kesehatan, pasien dan keluarga dapat mengurangi kunjungan ke pelayanan kesehatan ( dokter praktek,ruang gawat darurat, rumah sakit dan nursing home)
2. Dengan sumber daya yang minimal dapat meningkatkan cakupan dan jangkauan pelayanan keperawatan tanpa batas geografis
3. Telenursing dapat menurunkan kebutuhan atau menurunkan waktu tinggal di rumah sakit
4. Pasien dewasa dengan kondisi penyakit kronis memerlukan pengkajian dan monitoring yang sering sehingga membutuhkan biaya yang banyak. Telenursing dapat meningkatkan pelayanan untuk pasien kronis tanpa memerlukan biaya dan meningkatkan pemanfaatan teknologi
5. berhasil dalam menurunkan total biaya perawatan kesehatan dan meningkatkan akses untuk perawatan kesehatan tanpa banyak memerlukan sumber
Selain manfaat di atas telenursing dapat dimanfaatkan dalam bidang pendidikan keperawatan ( model distance learning) dan perkembangan riset keperawatan berbasis informatika kesehatan. Telenursing dapat juga digunakan dikampus dengan video conference, pembelajaran on line dan Multimedia Distance Learning. -
lanjutan TELENURSING
2.3.1 Faktor-faktor aplikasi telenursing
1. Faktor legalitas
Dapat didefinisikan sebagai otononi profesi keperawatan atau institusi keperawatan yang mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan telenursing.
2. Faktor financial
Pelaksanaan telenursing membutuhkan biaya yang cukup besar karena sarana dan prasaranya sangat banyak. Perlu dukungan dari pemerintah dan organisasi profesi dalam penyediaan aspek financial dalam pelaksanaan telenursing
3. Faktor Skill
Ada dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu pengetahuan dan skill tentang telenursing. Perawat dan pasien perlu dilakukan pelatihan tentang aplikasi telenursing. Terlaksananya telenursing sangat tergantung dari aspek pengetahuan dan skill antara pasien dan perawat. Pengetahuan tentang telenursing harus didasari oleh pengetahuan tehnologi informasi.
4. Faktor Motivasi
Motivasi perawat dan pasien menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan telenursing. Tanpa ada motivasi dari perawat dan pasien, telenursing tidak akan bisa berjalan dengan baik.
Perawat memiliki komitmen menyeluruh tentang perlunya mempertahankan privasi dan kerahasiaan pasien sesuai kode etik keperawatan. Beberapa hal terkait dengan isu ini, yang secara fundamental mesti dilakukan dalam penerapan tehnologi dalam bidang kesehatan dalam merawat pasien adalah :
1. Jaminan kerahasiaan dan jaminan pelayanan dari informasi kesehatan yang diberikan harus tetap terjaga
2. Pasien yang mendapatkan intervensi melalui telehealth harus diinformasikan potensial resiko (seperti keterbatasan jaminan kerahasiaan informasi, melalui internet atau telepon) dan keuntungannya
3. Diseminasi data pasien seperti identifikasi pasien (suara, gambar) dapat dikontrol dengan membuat informed consent (pernyataan persetujuan) lewat email
4. Individu yang menyalahgunakan kerahasiaan, keamanan dan peraturan dan penyalah gunaan informasi dapat dikenakan hukuman/legal aspek.
Pelaksanaan telenursing di Indonesia masih belum berjalan dengan baik disebabkan oleh karena keterbatasan sumberdaya manusia, keterbatasan sarana dan prasarana serta kurangnya dukungan pelaksanaan telenursing dari pemerintah. Untuk mensiasati keterbatasan pelaksanaan telenursing bisa dimulai dengan peralatan yang sederhana seperti pesawat telepon yang sudah banyak dimiliki oleh masyarakat tetapi masih belum banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan. Telenursing menggunakan telepon ini dapat diaplikasikan di unit gawat darurat dan home care. Di indonesia sendiri telenursing baru diterapkan disalah satu universitas negeri terkemuka di Indonesia yakni Universitas Gajah Mada
BAB III
KESIMPULAN
Tujuan utama penelitian keperawatan adalah mengembangkan dasar pengetahuan ilmiah untuk praktik keperawatan yang efektif dan efisien. Seorang peneliti dalam hal ini adalah seorang perawat harus bertanggung jawab kepada masyarakat dalam hal penyediaan kualitas layanan dan merumuskan cara-cara untuk meningkatkan mutu layanan tersebut dan yang lebih penting yaitu perawat harus bertanggung jawab terhadap kliennnya.
1. Telenursing adalah bagian integral dari telehealth
2. Telenursing dapat digunakan untuk memberikan pelayanan keperawatan professional
3. Telenursing dapat meningkatkan kemandirian dan kepuasan pasien serta partisipasi aktif keluarga
4. Telenursing efektif digunakan dalam seting perawatan pasien yang mengalami penyakit kronis dan penyakit yang menyebabkan ketergantungan
DAFTAR PUSTAKA
Anthony F. Jerant, A Randomized Trial of Telenursing to Reduce Hospitalization for Heart Failure: Patient-Centered Outcomes and Nursing Indicators.Jakarta:EGC
http://www.haworthpress.com
Elizabet Greenberg.(2004). The Domain of Telenursing .Jakarta:EGC
Wikipedia.(2007). Telenursing, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/telenursing, -
DOKUMENTASI KEPERAWATAN YANG BAKU SEHINGGA SETIAP INSTITUSI RUMAH SAKIT MENGGUNAKAN VERSI ATAU MODELNYA SENDIRI-SENDIRI
NAMA KELOMPOK 6/3B:
1. Mei Fitria. K
2. M. Nurul Huda
3. Ubat Imam. T
4. Yeni Nurfiana
• Pengertian Dokumentasi Keperawatan
Potter (2005) mendefenisikan dokumentasi sebagai segala sesuatu yang tercetak atau tertulis yang dapat diandalkan sebagai catatan tentang bukti bagi individu yang berwenang. Dokumentasi keperawatan juga merupakan salah satu bentuk upaya membina dan mempertahankan akontabilitas perawat dan keperawatan (Webster New World Dictionary dalam Marelli (1996). Pelaksanaan dokumentasi proses keperawatan juga sebagai salah satu alat ukur untuk mengetahui, memantau dan menyimpulkan suatu pelayanan asuhan keperawatan yang diselenggarakan di rumah sakit (Fisbach, 1991)
• Model dokumentasi keperawatan
Penjabaran di bawah ini akan diuraikan tentang beberapa model pendokumentasian yang dapat dipergunakan di dalam system pelayanan kesehatan di Indonesia :
a. source – oriented record (catatan berorientasi pada sumber ).
Model ini menempatkan catatan atas dasar disiplin orang atau sumber yang mengelola pencatatan. Bagian penerimaan klien mempunyai lembar isian tersendiri, dokter menggunakan lembar untuk mencatat instruksi, lembaran riwayat penyakit dan perkembangan penyakit, perawat menggunakan catatan keperawatan begitu pula disiplin lain mempunyai catatan masing-masing.
B. Problem – Oriented Record (Catatan Berorientasi Pada Masalah)
Model ini memusatkan data tentang klien didokumentasikan dan disusun menurut masalah klien. System dokumentasi jenis ini mengintegrasikan semua data mengenai masalah yang dikumpulkan oleh dokter, perawat atau tenaga kesehatan yang lain yangterlibat dalam pemberian layanan kepada klien.
C. Progress – Oriented Record (Catatan Berorientasi Pada Perkembangan/ Kemajuan)
Tiga jenis catatan perkembangan adalah catatan perawat, “flowsheet” , dan catatan pemulangan atau ringkasan rujukan. Ketiga jenis ini digunakan baik pada system dokumentasi yang berorientasi pada sumber maupun berorientasi pada masalah. Sebagian penjelasan tentang system dokumentasi ini telah diuraikan sebagai komponen dari pendokumentasian yang berorientasi pada masalah.
D. Charting By Exception (CBE)
Charting by exception adalah system dokumentasi yang hanya mencatat secara naratif dari hasil atau penemuan yang menyimpan dari keadaan normal atau standar.Keuntungan CBE yaitu mengurangi penggunaan waktu untuk mencatat sehingga banyak waktu yang digunakan untuk asuhan langsung pada klien. -
lanjutan kel 6 3B
E.Problem Intervenstion Dan Evaluation (PIE)
PIE adalah suatu singkatan dari (Identifikasi problem, Intervenstion dan Evaluation).Sistem pencatatan adalah suatu pendekatan orientasi-proses pada dokumentasi dengan penekanan pada proses keperawatan dan diagnose keperawatan.
F. Focus (Process Oriented system)
Pencatatan FOCUS adalah suatu proses orientasi dank lien focus.Hal ini digunakan proses keperawatan untuk mengorganisir dokumentasi asuhan.jika menuliskan catatan perkembangan,format DAR (data –Action –Response )dengan 3kolum
Data :berisi tentang data subyektif dan obyektif yang mendukung dokumentasi focus
Action :merupakan tindakan keperawatan yang segera atau yang akan dilakukan berdasarkan pengkajian /evaluasi keadaan klien
Response :menyediakan keadaan respon klien terhadap tindakan medis atau keperawatan
Komentar Kelompok :
Pendokumentasian Keperawatan merupakan hal penting yang dapat menunjang pelaksanaan mutu asuhan keperawatan. Model pendekomentasian bervariasi, tergantung ketentuan institusi yang telah disepakati. Model dokumentasi keperawatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun demikian pada dasarnya maksud dan tujuannya sama. Perawat sebagai salah satu tenaga yang mempunyai kontribusi besar bagi pelayanan kesehatan, mempunyai peranan penting untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dalam upaya peningkatan mutu, seorang perawat harus mampu melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standar, yaitu mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi berikut dengan dokumentasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar