Narbal

Sabtu, 17 September 2011

MENULIS

Belajar Menulis Cerita (BMC-05)

-=oOo=-

LATAR

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, acuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya (Wellek dan Waren, 1989).

Latar meliputi penggambaran letak geografis (topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang, dimensi), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.

FUNGSI LATAR

Ada beberapa fungsi latar, antara lain :

1. Memberikan informasi situasi sebagaimana adanya

2. Memproyeksikan keadaan batin tokoh

3. Mencitrakan suasana tertentu

4. Memperkokoh alur

CONTOH-CONTOH LATAR :

Latar Emosional (Cerpen Titian Aksara)

Serasa sebuah anugerah terhidang, tatkala kulihat dalam keremangan ruang seorang gadis datang mendekati. Setiap dia berkata desah hembus napasnya terasa hangat di genderang telinga.

Dan getaran itu perlahan menjalar ke dada. Seolah sebuah wadah berisi cairan yang terhangatkan tungku perapian. Gemuruh cairannya mempermainkan tutup wadahnya selayak ombak yang menggoda laju perahu. Dan kumerasa berada dalam perahu itu. Bergoyang ke kiri kanan terhembus sapaan bayu yang membuat mata ini semakin redup terbuai.

Latar Tempat (Cerpen Taman 1000 janji)

Gelap perlahan merayap. Tangan-tangannya yang perkasa merengkuh seluruh isi pulau. Terkecuali satu tempat, yang berpagar mercuri di sekelilingnya. Gelap tak pernah berhasil menjejakkan kaki di sana, bahkan ketika PLN padam!

Tempat itu adalah area industri yang dikenal dengan sebutan Batamindo Mukakuning. Sebuah tempat di luar kota yang memiliki sistem penerangan dan telpon sendiri. Lebih dari 100 perusahan mendirikan pabriknya, bersebelahan dengan dormitory (asrama) yang menjadi hunian pekerja. Di antara pabrik dan Dormitory, terhampar taman yang cukup luas.

Latar Sosial ( Secangkir Teh : Secarik yang tercabik)

Kehidupan di kampus mengajarkan saya banyak hal. Hal terbesar yang terpatri begitu tinggi adalah nilai-nilai idealisme. Pada masa orientasi, nilai tersebut telah ditanamkan dan makin menebal seiring pengalaman saya sebagai salah satu aktivis kampus. Berbagai benturan dan tarik-ulur kepentingan semakin meyakinkan saya bahwa idealisme sampai kapanpun tak akan bisa dibeli oleh apapun. Masih terngiang kata-kata seorang senior pada masa orientasi dulu bahwa jika idealisme kami sudah terbeli, itu sama halnya dengan melacurkan diri.

Latar Agama/Spiritual (Secangkir Teh : Antara Rasa Sayang dan Kehilangan)

Sesungguhnya segala sesuatu di dunia ini hanyalah titipan yang Maha Kuasa. Namun demikian seringkali manusia tidak sadar akan hal itu. Ketika barang yang dimiliki manusia diambil kembali oleh Pemilik Aslinya, barulah mereka tersentak.

Latar Waktu (Hujan Bulan Nopember)

Hari ini, setahun sudah berlalu. Ribuan menit telah mengorbit hari. Setiap detiknya, memercik rindu tak terkira. Kurindu usapanmu, yang membelai wajahku penuh kehangatan. Kurindu aroma mawar, melati bercampur kenanga atau sedap malam yang melekat bersama hadirmu.

(Bersambung)

Perkembangan dunia Teknologi Informasi dewasa ini telah berhasil membuat jutaan Blogger tumbuh di Indonesia. Hampir tiap hari mereka menghasilkan karya dalam bentuk catatan pribadi, puisi, cerpen, cerbung, atau naskah yang akan menjadi drama/novel, dan lain-lainnya. Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan apabila kehadiran blogger-blogger di dunia maya tersebut diimbangi dengan kualitas tulisan yang memadai.

Sayangnya, terlihat masih banyak karya yang hanya seperti tumpukan sampah. Padahal bila mereka bisa mengemasnya dalam bingkai yang menarik, tentu akan sangat mengasyikkan untuk dibaca. Pertanyaannya adalah, siapa yang mengetahui kemasan itu menarik atau tidaknya?

Tentu saja jawabannya adalah pembaca. Bagaimanapun, pembaca adalah ‘pembeli’ yang akan menilai layak tidaknya suatu produk karya sastra ‘dibeli’ atau tidak. Mereka mungkin akan mencoba membaca satu-dua paragraf awal, sebelum memutuskan untuk meneruskan membaca paragraf selanjutnya atau tidak.

Pembaca memang memegang peranan yang mutlak dalam kemajuan kesusasteraan. Sebuah karya besar yang dibuat pengarang hebat tak akan berarti apa-apa jika tak pernah jatuh ke tangan pembaca. Pembaca Blog sendiri memegang peran lebih dibanding pembaca buku biasa, yang hanya bisa menikmati sebuah karya tanpa terlibat dalam proses kreatif di dalamnya.

Di dalam blog, penulis bisa berinteraksi dengan pembaca, meminta masukan dan kritikannya. Dari pembaca, ia akan mendapatkan feedback yang berharga untuk perbaikan hasil karyanya. Proses ini jika dilakukan secara intensif, akan membuat karya penulis-penulis Blog menjadi makin berbobot dan layak baca. Pada gilirannya hal ini akan membuat khazanah sastra Indonesia menjadi semakin berkembang di masa mendatang.

Kritik Sastra

Menyadari peranannya yang begitu besar dalam perkembangan bidang kesusasteraan dan bahasa, sudah selayaknya setiap pembaca mengedepankan nilai obyektivitas, disamping nilai subyektivitas yang mungkin tak bisa dihindarkan ketika membaca sebuah karya sastra.

Setidaknya ada enam criteria yang bisa dijadikan acuan, agar sebuah kritik sastra (umum) tetap berada dalam rel obyektivitas :

  1. Inovasi (pembaruan ide, gaya bercerita)
  2. Koherensi (Keterpaduan)
  3. Kompleksitas (kerumitan alur/cerita)
  4. Orisinalitas (keaslian)
  5. Kematangan (wawasan/intelektualitas penulis)
  6. Eksplorasi

Nilai obyektivitas ini menyangkut apresiasi (penghargaan) yang memuat pujian terhadap keunggulan karya tersebut, terutama bila dibandingkan dengan karya lain (yang pernah dibaca oleh pembaca). Bila ada kritik, hendaknya disertakan dengan uraian yang evaluatif, dengan menyertakan kemungkinan alternatif perbaikan ( bila ada). Kritik yang harus dihindari adalah kritik yang bersifat caci maki, mengulas sisi kejelekan karya tanpa mengimbangi dengan kelebihannya.

Titik Bidik :

Memuji sebuah karya, dalam batas-batas yang wajar akan mampu meningkatkan motivasi menulis sang penulis. Tetapi, jangan membunuh kreativitasnya dengan selalu mengatakan bahwa karya tersebut bagus, indah, menarik, dll…tanpa mengimbanginya dengan kritik yang membangun.

Kritik adalah feedback (umpan balik) yang berfungsi sebagai Quality Control (QC) agar sebuah karya menjadi semakin berkualitas.

Baca Artikel terkait :

Fungsi dan Definisi Puisi

Ragam Jenis Puisi

Apresiasi Puisi

Belajar Mengapresiasi Karya Sastra

APRESIASI PUISI

Bentuk puisi umumnya padat dan eksplosif. Bentuk karya sastra ini paling sering digunakan untuk mewakili kegalauan perasaan, yang biasanya memotret sebuah emosi pada suatu ketika atau peristiwa.

Dalam pelajaran sastra dahulu, puisi didefinisikan sebagai karya yang terikat oleh :

  1. Banyaknya baris dalam tiap bait.
  2. Banyaknya kata dalam tiap baris
  3. Banyaknya suku kata dalam tiap baris
  4. Adanya rima, dan
  5. Irama

Definisi tersebut secara kontemporer telah berubah, seiring dengan perubahan manusia yang tak lagi ingin dikekang oleh bait/baris maupun rima yang membelenggu kebebasan mereka dalam merangkai kata tersebut.

Puisi Chairil Anwar : ‘Aku’, larik-lariknya tidak dibuat atas bait-bait.

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Chairil Anwar, Maret 1943)

Begitu juga dengan puisi WS Rendra : Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api berikut :

Bagaimana mungkin kita bernegara

Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya

Bagaimana mungkin kita berbangsa

Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup

bersama ?

Itulah sebabnya

Kami tidak ikhlas

menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris

dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu

sehingga menjadi lautan api

Kini batinku kembali mengenang

udara panas yang bergetar dan menggelombang,

bau asap, bau keringat

suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki

langit berwarna kesumba

Walau terkadang masih ada rima yang menyertai di akhir baris, namun Rendra tak memaksakannya bila memang tak memungkinkannya.

Beberapa penulis puisi, mempunyai deskripsi sendiri tentang arti puisi. Berikut petikan beberapa di antaranya :

“ Berbicara puisi, mungkin (atau pasti) takkan ada ujungnya. Aku sendiri menganggap puisi adalah sesosok makhluk yang merupakan sebuah entitas mutlak, artinya ia ada dan menuntut untuk ada dalam kehidupan sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Ia hadir dalam manusia, memilih manusia-manusia yang cocok untuk menuliskan dirinya.

Jalan kepenulisan itu memilih pelakunya sendiri.” (TS PINANG)


“Puisi adalah serangkaian pertanyaan yang tidak berhasrat memburu jawaban.”

(Hasan Aspahani)


Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang.” (Joko Pinurbo)


Apapun definisinya, puisi yang baik selayaknya menyajikan makna yang bisa dinikmati pembacanya. Agar rangkaian makna tersebut bisa diserap, pembaca harus masuk ke dalamnya dan mencoba memberikan penafsiran.

Berikut langkah-langkah yang dapat dijadikan acuan dalam memahami sebuah karya puisi

1. Pembacaan teks puisi secara eksplisit.

Makna secara eksplisit dapat kita cermati dengan melihat perwujudan teks itu sendiri, Diksi (pilihan kata), rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata menyodorkan kekayaan nuansa makna, yang pernik-perniknya akan membuat bahasa menjadi lebih indah dan dalam maknanya.

Rangkaian sintaksis berhubungan dengan maksud yang hendak disampaikan penulis, serta logika yang digunakan yang berkaitan dengan pemikiran/ekspresi yang disajikan.

Makna semantik berkenaan dengan kedalaman makna setiap kata.

2. Pembacaan teks puisi secara implisit.

Makna secara implisit berkaitan dengan intepretasi, latar belakang (yang mungkin ditemukan), simbol dan perlambang yang menyertai makna di belakang puisi tersebut. Assosiasi (pertautan) dan imajinasi terkadang berperan besar dalam mengungkap makna.

Di Meja Makan

Ruang diributi jerit dada

Sambal tomat pada mata

Meleleh air racun dosa

Baris pertama, memberi bayangan tentang kegelisahan yang tak terperikan. Mengungkapkan hati yang sedang diliputi ketakutan/penderitaan, atau kemelut yang tak terpecahkan. Baris berikutnya, lebih menegaskan lagi tentang derita yang sangat pedih dan perih itu. Baris tersebut mengasosiasikan kepedihan mata yang dinyatakan lewat perihnya mata yang terkena sambal. Baris berikutnya, seolah menyimpulkan dan memberi penegasan bahwa penderitaan dan kegelisahan itu disebabkan oleh perbuatan dosa. Meleleh air racun dosa, bisa diartikan sebagai ungkapan penyesalan yang mendalam.

3. Memperkaitkan makna eksplisit dan makna implisit untuk mendapatkan gambaran tentang amanat/ tema yang diusung puisi.

Berbobot tidaknya puisi dapat diamati dari pencitraan yang dilakukan penulis terhadap isi dan makna puisi mereka yang terkadang disamarkan untuk tujuan tertentu.

TITIK BIDIK :

  1. Puisi akan menjadi lebih bagus apabila memuat unsur-unsur berikut :
    1. Memiliki nilai estetika (keindahan) pada kata/baitnya.
    2. Memberikan pencerahan pada pembaca
    3. Mampu memperkaya kosa kata, makna kata, ungkapan dan bahasa secara keseluruhan
  2. Tidak diperlukan penafsiran yang sama dalam mengapresiasi sebuah karya sastra, termasuk juga puisi. Asal masih dalam koridor yang logis, pemaknaan boleh saja berbeda, tergantung cara pandang masing-masing orang.

Mari Berkarya dan terus berkarya…!!!


Baca Artikel terkait :

Fungsi dan Definisi Puisi

Ragam Jenis Puisi

Apresiasi Puisi

Belajar Mengapresiasi Karya Sastra

Kiat Jitu Menulis Cerpen (2-habis)

(tulisan sebelumnya)

D. KALIMAT EFEKTIF

Kalimat Efektif merupakan kalimat yang berdaya guna yang langsung memberikan kesan pada pembaca. Bagaimanapun bagusnya isi sebuah cerpen, tidak akan menarik bila tidak diantarkan oleh kalimat-kalimat yang bagus. Bagaimana mungkin pembaca akan tertarik dengan cerpen yang bahasanya susah ditangkap? Kalimat-kalimat panjang, seperti kalimat majemuk, cenderung membebani pembaca. Karena itu, sedapat mungkin dikurangi penggunaannya. Fungsi kalimat tidak hanya memberitahukan sesuatu atau menanyakan sesuatu, tetapi lebih jauh, ia harus mampu mengantarkan pemahaman yang mencakup segala aspek ekspresi kejiwaan manusia.

Untuk merebut hati pembaca, penulis harus mampu membuat kalimat yang mampu mempengaruhi pembaca. Rangkaian peristiwa disusun sedemikian rupa, sehingga pembaca tertarik untuk membaca kelanjutannya. Kalimat demi kalimat, baik dalam bentuk dialog maupun narasi, disusun seefektif mungkin. Secara umum, langgam lisan lebih mengesankan dibandingkan langgam tulisan. Karena pada hakekatnya, bercerita sama dengan berbicara kepada orang lain. Perhatikan contoh berikut ini :

A1: “Aku kurang setuju dengan sikapmu terhadap diriku.”

B1: “Aku tidak bermaksud tak baik terhadapmu.”

Bandingkan lebih efektif mana, dengan contoh berikut:

A2: “Aku keberatan atas sikapmu.”

B2: ”Bukan maksudku begitu.”

Kalimat efektif juga dapat ditunjukkan oleh kalimat aktif, yang lebih mempunyai dampak psikis dibandingkan kalimat pasif. Misalkan :

A3: “Beberapa orang tidak suka tindak tanduknya.” (Aktif)

B3: “Tindak tanduknya tidak disukai beberapa orang.” (Pasif)

A4: “Badu membuka sepatunya dengan tergesa-gesa.”(Aktif)

B4: “Dengan tergesa-gesa dibukanya sepatunya oleh Badu.(Pasif)”

E. BUMBU-BUMBU

Enak dan gurihnya sebuah produk makanan ditentukan oleh komposisi bumbu-bumbunya yang sesuai dengan takarannya. Fungsi bumbu, berguna sebagai penyedap rasa dan memberi aroma. Dalam cerita, unsur seks dan humor adalah bumbu cerita, yang tidak berperan sebagai pokok gagasan. Sebab jika berlebihan dan dieksploitasi, cerita akan menjurus menjadi cerita seks (porno) atau cermor (Cerita humor).

Dalam sebuah cerpen yang beralur tunggal, seks atau humor berperan dalam menghidupkan suasana, atau bisa jadi merupakan sebuah bagian dari alur itu sendiri.

Waktu dilihatnya Yati tidak melawan dan hanya memejamkan matanya, Yusuf menjadi lebih berani lagi. Diciumnya berkali-kali mulut dan pipi gadis itu. Naluri atau nafsu laki-laki yang sudah menduda tiga tahun itu, agaknya sudah tidak dapat ditahan-tahan lagi. Dan sejak saat itu mereka sering bertemu, berkencan, melihat film, makan di restauran, bahkan sekali dua kali menginap di hotel.

“Yat, kau suka anak kecil enggak?”

“Tergantung anaknya bagaimana dan anak siapa?” .

(Ziarah lebaran, Umar Kayam)

“Jadi Roh jelas bintangmu adalah Scorpio. Bintang ini jatuhnya bulan Oktober, jadi kamu bisa merayakan ulang tahunmu bulan Oktober nanti. Pilih saja malam minggu bulan tua. Ya?!”

Roh bukannya gembira malah terkejut.

“Scorpio Nyonya?”
”Ya.”

“Saya tidak mau. Masak binatang saya Scorpio sama dengan Katijah. Saya tidak mau disama-samain dengan dia. Kalau Scorpio saya kira bukan. Bukan, ah!”

Nyonya menahan tawa.

“Habis kalau nggak Scorpio apa?”

“Ya apa kek, yang mendingan sedikit. Gemini. Atau Taurus atau bintang Virgo seperti yang dinyanyikan Ade Manuhutu itu.” (Roh, Putu Wijaya)

F. MENGGERAKKAN TOKOH (KARAKTER)

Sebagaimana drama yang ada di atas panggung, cerpen haruslah hidup. Penulis dituntut untuk bisa menghidupkan suasana, melalui tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Ada 5 cara yang bisa digunakan oleh penulis untuk menggambarkan karakter tokoh-tokoh mereka.

Pertama, melalui perbuatan. Tindakan tokoh, terutama pada saat kritis mencerminkan watak mereka yang sesungguhnya. Pada situasi yang gawat, seseorang akan bertindak sesuai dengan watak aslinya.

Kedua, melalui ucapan. Dari ucapan tokoh dapat dikenali siapa dia sesungguhnya. Apakah ia seorang pemuda, orang berpendidikan tinggi atau rendah, pria atau wanita, berbudi halus atau kasar, kira-kira berasal dari suku mana, dll.

Ketiga, melalui penggambaran fisik tokoh. Seorang penulis haruslah mampu mengenalkan tokohnya, misalkan melalui penggambaran bentuk tubuh, raut wajah, tinggi badan, bentuk pakaian, dll.

Keempat, melalui pikiran tokoh. Dengan melukiskan pikiran tokoh, pembaca dapat mengetahui alasan sebuah tindakan yang dilakukan oleh tokoh, sehingga ada benang merah antara yang dipikirkan tokoh dan yang dilakukannya.

Kelima, melalui penerangan secara langsung. Penulis melukiskan dan memaparkan watak tokoh secara langsung. Contohnya roman Siti Nurbaya, watak tokoh-tokohnya terlihat melalui gambaran langsung pengarangnya. Teknik ini kini mulai ditinggalkan oleh para penulis, karena terasa kuno.

Dalam novel penulis bisa berpanjang lebar menjelaskan karakter tokohnya. Namun tidak demikian halnya dengan cerpen. Sedapat mungkin watak tokoh, baik yang terlihat dari tindak tanduk fisik maupun dalam narasi keadaan psikis, dapat terselip diantara semua paragraf. Contohnya berikut ini :

Lelaki berkacamata itu membuka kancing baju kemejanya bagian atas. Ia kelihatan gelisah, berkeringat, meski ia sedang berada dalam ruangan yang berpendingin. Akan tetapi ketika seorang perempuan cantik muncul dari balik koridor menuju lobi tempat lelaki berkaca mata itu menunggu, wajahnya berubah menjadi berseri-seri. Seakan lelaki itu begitu pandai menyimpan kegelisahannya.

“Sudah lama?”tanya perempuan itu sambil melempar senyum.

“Baru setengah jam,”jawabnya setengah bergurau.

Lebih jauh, silakan baca di sini dan disini

G. FOKUS CERITA (ALUR)

Alur dalam cerpen, hanyalah tunggal. Karena itu percabangan alur mutlak harus dihindarkan, agar fokus cerita tetap terjaga. Penulis pemula, sering tidak konsisten terhadap alur yang mereka buat. Tak jarang yang mereka tulis adalah kejadian-kejadian, bukannya alur cerita.

Menggulirkan Alur dalam cerpen, tak ubahnya seperti menggulirkan air, dari hulu menuju hilir.

Tentang beda dua hal ini, silakan simak di sini

H. SENTAKAN AKHIR (ENDING)

Cerpen harus diakhiri ketika persolan yang diutarakan penulis sudah dianggap selesai. Harus kembali diingat bahwa cerpen hanyalah memotret satu persoalan, pada satu kehidupan yang singkat(dalam hitungan detik, menit, jam, hari atau bulan). Karenanya, akan tampak lucu seandainya pada endingnya dibubuhkan keterangan,’Begitulah kisahnya, hingga mereka berdua hidup bahagia sampai akhir menutup mata.’

Ending sebuah cerpen, sedapat mungkin merupakan sentakan yang mampu membuat pembaca terkesan. Kesan yang ditimbulkan, bisa beraneka ragam : tersenyum, terharu, sedih, merenung atau malah membuat penasaran.

Dalam Godlob, Danarto memaparkan cerita mengenai seorang anak yang dibunuh oleh sang ayah, agar anak tersebut dianggap pahlawan oleh masyarakat, pejabat dan sang politikus. Setelah sang ayah menceritakan yang sebenarnya pada istrinya, serta merta perempuan itu menggali kembali makam anaknya dan mengatakan pada sang pejabat dan politikus bahwa anaknya bukanlah pahlawan. Dia mati ditangan ayahnya sendiri. Dengan sekali tembakan, perempuan itu mengakhiri hidup suaminya.

Perempuan itu berdiri. Dengan wajah termangu ia memandang ke atas.

“Oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setanpun tak kuharapkan nasib yang demikian.”(Godlob, Danarto)

Sebuah keluhan tentang nasib mengakhiri cerpen Godlob. Secara tersirat sang penulis hendak menempatkan masalah nasib sebagai sesuatu yang lahir akibat perbuatan manusia sendiri. Keharuan dan rasa sedih menyeruak setelah membaca teks terakhirnya.

Dalam Roh, putu wijaya mengeksekusi ending ceritanya dengan sebuah humor yang menggelitik.

“Anu, Nyonya, saya pingin bikin pesta ulang tahun lagi.”

“Nyonya terkejut, menatap pembantunya itu dengan bengong.

“Lho, khan sudah?” (enam bulan yang lalu)

“Iya, tapi nggak apa deh, lagi…”

Terkadang ending sebuah cerpen, terutama cerpen mutakhir, dibiarkan terbuka. Pembaca dipersilakan untuk menafsirkan sendiri akhir ceritanya. Cerpen ‘Sukab dan Sepatu’ karya Seno Gumira Ajidarma adalah salah satu contohnya.

I. MENYUNTING

Setelah proses penulisan selesai, hal terpenting yang tidak boleh dilewatkan adalah proses penyuntingan. Kesalahan ejaan, pemakaian kata yang monoton adalah hal utama yang perlu diperbaiki.

Satu atau dua hari setelah penulisan, silakan baca lagi cerita yang telah dibuat. Dan rasakan bedanya! Kita mungkin melewatkan beberapa hal, atau terkadang menghamburkan kalimat-kalimat yang tidak penting. Kalimat-kalimat yang terlalu panjang juga perlu mendapat perhatian. Bila perlu, pecah kalimat majemuk yang panjang menjadi dua kalimat atau lebih. Lebih jauh, korelasikan cerita yang telah dibuat dengan tema. Kalimat yang hanya melemahkan alur atau membuat percabangan alur harus dipangkas habis.

J. MEMBERI JUDUL

Memberi judul pada sebuah cerpen adalah pekerjaan gampang-gampang susah, karena judul merupakan daya tarik bagi pembaca. Terkadang dari melihat judul, pembaca langsung menjustifikasi sebuah karya.

Beberapa judul berikut mungkin terdengar sudah klise :

Kemelut cinta, Akhir sebuah Harapan, Dimatamu kulihat cinta, Dimatamu ada bintang, dll.

Karena judul merupakan cerminan dari isi, ada baiknya judul di tulis belakangan. Walaupun demikian, tidak ada salahnya juga membuat judul di awal, sebagai rel yang akan menuntun kita untuk tetap fokus pada tema. Biarpun demikian, terkadang dalam proses penulisan terjadi penyimpangan ide, atau terjadi perkembangan baru dari ide awal. Untuk ini, diperlukan fleksibilitas.

Tidak ditemukan sebuah acuan, apakah judul harus dituliskan dengan satu kata, dua kata atau lebih. Masing-masing penulis memiliki selera tersendiri tentang judul yang mereka buat. Judul cerpen Putu Wijaya selalu pendek, hanya terdiri dari satu kata.

Misalnya : Bom, Es, Gres, Protes, Blok, Klop, Bor, Darah, Yel, ZigZag, Tidak, atau Roh. Ada juga penulis yang senang pada dua kata, misalnya Pelajaran Mengarang, Paduan Suara, Kopi pahit, Dunia Sukab, dll.

Beberapa pengarang mempunyai kebiasaan untuk membuat judul cerpen dengan bernuansa puitis, seperti Berburu di Belantara Jakarta, Angin dari Gunung, Dimanakah Sri, sepotong Senja untuk pacarku, dll.

-=o0o=-

Setelah Browsing di beberapa tempat tak jua menemukan tulisan yang komperehensif tentang Tips atau Kiat-kiat penulisan cerpen, saya mencoba merangkum beberapa buku dan mengkompilasinya menjadi tulisan berikut, yang disertai beberapa contoh praktis. Masukan dan saran pembaca, khususnya anggota MBB sangat diperlukan untuk mengembangkan kiat-kiat ini, agar tepat guna.

Bahan-bahan :

Kiat Menulis Cerita Pendek, Harris Effendi Thahar
Bermain dengan cerpen, Maman S. Mahayana
Apresiasi cerpen Indonesia Mutakhir, Korie Layun Rampan

-=o0o=-

Kiat jitu Menulis Cerpen (1)

A. PARAGRAF PERTAMA

Selain judul, paragraf pertama adalah etalase sebuah cerpen. Menarik tidaknya barang-barang yang ditawarkan, bisa dilihat dari kaca etalase depannya. Demikian halnya cerpen. Ketika paragraf mulanya mulai dibaca, lantas tidak menarik, besar kemungkinan pembaca tidak akan melanjutkannya hingga tamat. Bisa jadi hal ini disebabkan karena paragraf awal terlalu biasa, tidak mengundang rasa penasaran, terkesan menggurui, dan lain-lain.

Di beberapa referensi disebutkan bahwa penulis mempunyai empat kalimat awal untuk dicicipi pembaca. Bila empat kalimat awal ini gagal menghadirkan rasa yang menawan, jangan terlampau berharap pembaca akan meneruskan membacanya.

Dalam hidup dan kehidupan ini, manusia senantiasa dihadapkan pada pilihan dan nasib. Nasib tak selalu cocok dengan pilihan. Terkadang terlalu jauh dari pilihan cita-cita hingga tragedi demi tragedi terjadi. Tragedi yang menyayat perasaan memeras air mata. Begitulah yang terjadi pada Rika, gadis yang malang.

Kesan menggurui amat terasa pada contoh di atas, Siapa yang tidak tahu bahwa nasib itu tidak sama dengan cita-cita hidup?

Jakarta musim kemarau.

Seorang overste MPP berpakaian preman mandi keringat di atas bis kota Merantama. Bus penuh sesak. Overste MPP yang bernama Marzuki itu terus didesak oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia mengharapkan udara segara, bukan bau keringat. (Budi, Chairul Harun)

Dari kutipan di atas, begitu paragraf pertama diluncurkan, cerita mulai berjalan. Dari lima kalimat pendek, pembaca sudah mendapatkan informasi padat tentang suasana di atas bus kota, nama tokoh, status sosialnya, dan cuaca.

Sebuah cerpen dapat diibaratkan sebagai bangunan. Paragraf pertama adalah beranda depan, yang bisa jadi ada taman mungil, bunga-bunga penghias, meja dan kursi untuk bersantai di pinggirnya, atau hal-hal lain yang menarik mata orang yang memandangnya. Semakin menarik cerita, orang akan tergugah membacanya. Apa yang ada di benak anda saat membaca paragraf awal berikut?

Gagak-gagak hitam bertebahan dari angkasa, sebagai gumpalan-gumpalan batu yang dilemparkan, kemudian mereka berpusar-pusar, tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran sendiri-sendiri, besar dan kecil, tidak keruan sebagai benang kusut. Laksana sean maut yang compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka loncat ke sana loncat kemari, terbang ke sana terbang kemari, dari bangkau mayat yang satu ke gumpalan daging yang lain. Dan burung-burung ini jelas kurang tekun dan membakar padang gundul yang luas itu, yang di atasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik, yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa! Ibarat sumber yang mati mata airnya, hingga tamatlah segala kegiatan, perahu-perahu mandek dan kandas pada dasar sungainya dan bayi menangis karena habisnya susu ibu. (Godlob, Danarto)

B. MEMPERTIMBANGKAN PEMBACA

Penulis merupakan produsen yang menghasilkan sebuah produk (dalam bentuk tulisan), yang nantinya akan dikonsumsi oleh pembaca. Karenanya, adalah sebuah keniscayaan untuk senantiasa menjaga mutu tulisan agar layak baca, menarik dan bermanfaat. Membuat cerita menarik sebenarnya gampang-gampang susah, karena selera pembaca amat beragam. Ada yang menyukai cerita jenis horor, komedi, drama, dll. Karena itu, mencoba membuat cerita dengan bermacam-macam genre, akan membantu kita untuk mengasah kreativitas. Pada gilirannya nanti, kita akan mengetahui dengan sendirinya, genre mana yang kita sukai, dan disukai pembaca. Senantiasa melahirkan karya adalah kunci utama untuk memetakan pembaca.

Selain hal tersebut, checklist berikut akan membantu Anda dalam menghasilkan karya yang menarik :

1. Apakah gaya bahasa yang dipakai cukup mudah dipahami pembaca?

2. Apakah ending cerita mudah ditebak?

3. Apakah konflik yang dibangun terasa logis bagi pembaca?

4. Benarkah tema yang diangkat tidak klise?

C. MENGGALI SUASANA

Latar dalam sebuah cerpen tidak saja berfungsi sebagai pernik yang membuat cerita menarik. Lebih jauh, ia menjadi salah satu penopang utama keberhasilan sebuah cerpen. Kelemahan penulis pemula, mereka sering menuliskan latar yang sama sekali tidak mendukung isi cerita. Selain itu, kadangkala latar yang digambarkan kurang konkret dan kurang detail. Atau bisa jadi terlalu biasa atau klise penggambarannya.

Latar senja adalah salah satu contohnya. Telah banyak penulis yang mendeskripsikan senja dengan semburat merah/jingga, lembayung oranye atau ungu. Di dalamnya biasanya juga disinggung mengenai pantai yang keemasan, pasir, cahaya temaram, dan gelap yang sebentar lagi datang. Bisa jadi, memang demikianlah kenyataan sebenarnya yang dilihat seorang penulis pada senjanya. Namun demikian, paparan tentang senja itu menjadi klise ketika dihubungkannya dengan kerinduan, atau dengan malam yang gelap. Parahnya di bagian-bagian selanjutnya, latar senja itu tak pernah disinggung lagi.

Udara cerah. Angin di pantai itu berembus sepoi-sepoi basah. Sebentar lagi matahari akan tenggelam ke peraduannya. Tiba-tiba aku ingin menyentuh ujung jarinya. Ia terkesiap dan menatap mataku dalam-dalam, seakan-akan berkata,’Tuluskah cintamu padaku?” Dan saat itu, hatiku makin berdebar.


Apa kesan anda ketika membaca cerita di atas? Kuno! Terlalu klise. Apakah sebuah percintaan mesti terjadi di tepi pantai, di kolam renang sebuah hotel yang mewah, atau di pesta ulang tahun teman yang kaya?

‘Semburat merah jingga. Menyemburkan rekah kerinduan yang tak berhingga. Pada satu wajah, yang sekelebat kulihat, dalam kemilau samudera, yang memercik riak-riak ombak. Terhempas di bebatuan karang. Seperti itulah kenangan yang datang. Dan hilang.’

Akrobat kata-kata di atas sesungguhnya cukup bagus. Tetapi akan menjadi mubazir bila dalam paragraf selanjutnya tak diimbangi dengan kepaduan cerita. Kelemahan ini sering dijumpai pada karya-karya modern. Ketika kita memutuskan untuk menyinggung senja sebagai latar, kompensasinya di bagian tengah atau akhir, senja itu harus diuraikan kembali.

Mari kita simak penuturan Seno Gumira Ajidarma tentang ‘Sepotong Senja Untuk Pacarku.’

“Balina tercinta.

Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja-dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, atau barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu per satu. Mestinya ada juga lokan, batu berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian…

“Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa.

Putu Wijaya memberikan ‘contoh’ yang baik bagaimana sebuah tema klise bisa menjadi menarik apabila dipotret dari sudut yang tidak biasa. Dalam cerpen ‘Roh’, putu Wijaya menandaskan bahwa ulang tahun bukanlah dominasi orang kaya. Siapa saja, bisa merayakannya, dengan caranya masing-masing.

Dikisahkan bahwa seorang pembantu bernama Roh trenyuh setiap kali melihat ada temannya yang berulang tahun.

Setiap kali ada yang berulang tahun, Roh selalu ingin meneteskan air mata. Diam-diam ia memalingkan mukanya di depan penggorengan dan menghapusnya dengan ujung kebaya. Kalau nyonya rumah memergokinya, ia selalu mengatakan matanya berair karena asap. Tetapi sekali ini, ketika cintanya baru saja ditepiskan oleh anak muda sopir baru tuannya, ia tak bisa bertahan lagi. Sambil memegang sendok penggoreng, ia memandang muka majikannya sambil sesegukan.”

Suasana akrab pembantu-majikan terlihat dalam dialognya yang mengalir lancar dan alami.

“Begini Nyonya. Ini maaf, tapi ini kan kenyataan. Nyonya sendiri selalu menasehati saya supaya menerima kenyataan. Begitu kata Nyonya, bukan? Barangkali nyonya sudah lupa.”

“Tidak, aku ingat. Memang harus begitu. Tapi tadi kau bilang berulang tahun, maksudmu bagaimana?”

“Ya kan Nyonya. Coba saja putra-putra Nyonya, Nyonya sendiri, Tuan, tetangga-tetangga, si Dul supir tuan yang baru itu, sampai-sampai si Iyem, Mariah, Tuminah dan Katijah itu lho pembantu baru Tuan Muin. Semuanya, semuanya saban-saban berulang tahun Nyonya. Saya sendiri, saya sendiri…?”


* Bersambung ke bagian 2




  1. Berpikir bahwa Menulis adalah Hal yang Sulit.

Menulis memang sulit, dan tentu saja menulis memang sulit, bagi yang berpikir demikian. Padahal bila kita berpandangan sebaliknya, menulis akan terasa ringan dan mudah. Kita tinggal menggerakkan jari-jari di atas tuts keyboard, atau mencoret2 di atas kertas. Semakin terbiasa kita, semakin lincah dan mahir kita melakukannya.

Mengubah paradigma adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk menjadi seorang penulis handal, yang produktif dalam berkarya.

Menulis hanya membutuhkan 1% bakat, dan selebihnya adalah kemauan kita dalam berusaha, berusaha dan selalu berusaha!!!

2. Kebiasaan Malas & Menunda-nunda.

Kebiasaan kedua yang harus kita hancurkan adalah kebiasaan malas dan menunda-nunda waktu. Bagi penulis pemula, ide tidak muncul setiap waktu. Karenanya, menunda-nunda pekerjaan menulis mengakibatkan hilangnya kesempatan mereka dalam berkarya.

Saat ide tersebut datang, segeralah ambil pena dan kertas dan mulailah menulis. Jika tidak memungkinkan, catat ide-ide global yang menjadi kata kuncinya. (kita bisa menuliskannya di HP, misalnya).

Jadwalkan waktu satu-dua jam sehari untuk menulis. Berkomitmenlah pada diri sendiri untuk menepatinya.

3. Berpikir bahwa Kita Tidak Cukup Kompeten.

Karena keterbatasan pemikiran, terkadang kita membatasi diri pada topik yang kita ketahui. Kita menulis hanya pada ruang lingkup yang membuat kita ‘nyaman’. Dalam jangka panjang, kebiasaan tersebut membuat kita stagnan dan tidak bisa mengembangkan diri.

Belajar hal baru adalah kunci untuk membuka cakrawala kita. Akan banyak ide yang bergulir jika ‘wadah’ dalam diri diperluas. Bila kita merasa tak kompeten dalam bidang sastra, itu berarti mulai sekarang kita mesti memperbanyak bacaan sastra. Bila kita sama sekali buta filsafat, itu berarti mulai sekarang kita harus memperkaya kosa kata bijak dari para pendahulu.

4. Kehabisan Ide.

Terkadang, saat berada di depan layar Komputer, atau saat sudah memegang pena dan kertas, hujan ide yang tadi deras datangnya, seolah lenyap tiba-tiba.

Bagaimana mengatasinya?

a. Rekam ulang memori, sambil memejamkan mata, merekontruksi apa yang pernah terlintas dalam benak.

b. Baca kembali KATA KUNCI yang telah ditulis/dicatat sebelumnya. (saat hujan ide datang, segeralah mencatat ide-ide penting, yang menarik minat).

c. Lakukan Icebreaking dengan cara :

* Blogwalking: membaca bahan atau cerita hasil karya orang lain,

* Searching gambar-gambar yang berkenaan dengan ide yang akan ditulis, untuk menguatkan daya imajinasi.

* Putar musik yang sesuai dengan selera! Bila tulisan kita sifatnya menggugah semangat, putar musik yang agak menghentak. Bila tulisan kita sifatnya kontemplasi/perenungan, putar musik dengan irama pelan.

Selamat Mencoba…!!!

Lihat juga artikel terkait :

Motivasi Menulis

Tips Menulis Efektif

Jenis-Jenis Tulisan & Strukturnya


Sebagian besar orang beranggapan bahwa menulis adalah sesuatu hal yang sulit dilakukan. Mereka bahkan tak tahu dari mana harus memulai pertama kali.

Asumsi ini tentu saja salah, karena hanya dengan mengambil sebuah pena, kita sudah bisa mencorat-coret sesuatu. Bila berada di depan komputer/laptop, kita bisa dengan segera mengetikkan apapun yang ada di kepala. Nah, setelah selesai menulis, lihat kembali tulisan. Mengagumkan, bukan?!

Bila ingin mengembangkan tulisan, ada baiknya kita mengikuti kebiasaan 7 Habits ala Steven R Covey, Selalu merujuk pada Tujuan Akhir. Dengan kata lain, apa yang anda tulis, haruslah bermakna atau berguna (dalam Quantum Learning, hal ini disebut AMBAK : Apa Manfaatnya Bagiku).

Motivasi dalam hal apapun, termasuk menulis akan mengalir deras jika kita bisa merumuskan Tujuan kita dalam menulis. Beebrapa hal berikut, mungkin bisa menjadi penggerak diri kita :

1. Tuntutan Pekerjaan.

Para penulis naskah/cerita, jurnalis, perensi biasanya menulis karena tuntutan profesi mereka. Eksistensi mereka akan selaras dengan ide kreatif yang mereka ciptakan.

Kita mungkin tak memiliki kesamaan profesi dengan mereka, namun begitu kitapun bisa menulis sama produktifnya dengan mereka. Beberapa caranya, di antaranya adalah ‘meniru’ kebiasaan mereka dalam berkarya.

Setiap pagi, biasanya seorang jurnalis mulai hunting berita. Sore atau malam, mereka akan membuat berita yang harus sudah selesai tengah malam, sebelum dicetak untuk diterbitkan keesokan harinya.

Dengan cara yang sama, kita bisa meniru langkah mereka. Setiap hari banyak ‘berita’ yang bisa kita tuliskan. Mulai dari lingkungan rumah/tempat tinggal, Lingkungan kerja, aktivitas harian. Yang perlu kita lakukan, menyediakan waktu beberapa jam untuk merekam peristiwa yang menurut kita paling menarik untuk ditulis pada hari itu. Usahakan tulisan selesai pada saat itu juga. Bilapun belum, setidaknya ada satu’draft’ tulisan yang telah kita buat pada hari itu.

2. Interaksi Sosial.

Semakin canggihnya era informasi dewasa ini membuat makin banyak ruang untuk berkomunikasi. Bertukar berita melalui email, bergabung dalam komunitas milis, mengikuti jejaring sosial seperti Facebook, Multiply, dll akan bisa memicu diri kita produktif dalam menulis.

Hubungan sosial ataupun personal dengan orang lain bisa kita buat sebagai bahan tulisan. Adanya informasi baru yang kita terima, akan makin memperkaya wacana sehingga bisa memacu diri dalam berkarya.

3. Ingin diakui/ Mendapatkan penghargaan.

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah ingin mendapat pengakuan/pujian. Menjamurnya blog adalah sebuah bukti bahwa dalam diri manusia ada kebutuhan untuk eksis. Menulis adalah salah satu sarana untuk mendapatkan pengakuan & penghargaan dari orang lain.

Bila orang lain membaca tulisan kita dan mereka mengapresiasi positif, hal tersebut akan memicu diri untuk lebih produktif lagi dalam berkarya. Karena itu marilah berteman dengan orang yang selalu mendukung dan memotivasi kita.

4. Kepuasan diri.

Ada kalanya orang menulis untuk kepuasan dirinya. Biasanya orang tersebut adalah orang yang menulis dengan sepenuh hati, menyatukan pikiran dan jiwanya, dengan penuh cita rasa. Jenis penulis seperti ini, biasanya akan mampu melahirkan karya besar yang sangat dinanti pembacanya.

Baca juga Artikel berikut :

Hambatan Menulis dan cara Mengatasinya

Tips Menulis Efektif

Jenis-Jenis Tulisan & Strukturnya

Menulis merupakan salah satu kegiatan positif, sebagai salah satu media yang ampuh untuk mengatasi stress. Dengan menulis, kita bisa menumpahkan semua beban perasaan kita, sehingga pikiran yang sebelumnya terasa ‘keruh’ akan bisa menjadi jernih.

Kegiatan menulis juga bisa kita gunakan untuk menuangkan ide atau gagasan yang ada di pikiran kita, sehingga dapat dibaca dan dipahami orang lain. Dengan menulis, kita bisa berbagi pengetahuan dan hasil pembelajaran kepada orang lain sehingga bermanfaat bagi sesama.

Walaupun kelihatannya mudah, namun ternyata pada prakteknya tidak semua orang mudah melakukan kegiatan ini. Banyak di antaranya yang justru mengalami kesulitan pada waktu pertama kali hendak menulis. Terkadang mereka mengalami kebuntuan ide/gagasan, terkadang tengah enggan/malas, merasa tidak bisa, tidak mampu atau tidak kompeten, takut, dan lain-lain. Semua hambatan ini HARUS dihancurkan, jika kita ingin menjadi penulis handal, yang produktif dalam berkarya.

1. Mulailah Secepat Mungkin

Jika suatu gagasan datang, segera tumpahkan apa yang ada di kepala. Jangan menunggu atau menunda-nunda! Duduklah di depan komputer/laptop dan mulailah menuliskan SEMUA yang terlintas di benak. Jangan hiraukan kesalahan tanda baca atau ejaan. Bila saat itu keadaan tidak memungkinkan (karena tengah berada dalam perjalanan, jauh dari komputer, dll), ambillah pena dan kertas. Tuliskan KATA KUNCI yang menjadi pokok-pokok pikiran gagasan. Kembangkan gagasan tersebut segera setelahnya!

Jika suatu saat kita ingin menulis, namun belum ada ide yang bergulir, jangan khawatir. Pejamkan kedua mata. Rekam ulang peristiwa yang kita alami seharian. Adakah yang memiliki kesan? Jangan terburu-buru menghakimi bahwa semua peristiwa datar-datar saja. Rekam ulang kembali memori kita sekali lagi. Sedang dimana siang tadi? Saat pulang, pemandangan apa yang menarik di perjalanan? Keramaian Bus kota? Anak-anak pengamen? Pepohonannya? Bidik satu titik yang paling menarik minat.

Mulailah menulis, menulis dan menulis. Tumpahkan semua yang ada di pikiran pada saat itu. Ungkapkan kekesalan, kesedihan, kekecewaan, kemarahan, kebencian, penyesalan, keprihatinan, ataupun kekaguman. Bisa juga rasa heran, bimbang, rasa senang, rasa sayang atau cinta. Dobrak batasan dogma yang ada. Jangan pedulikan kemana arah tulisan yang dibuat. Apakah bentuknya prosa atau puisi (?), Apakah cerita atau opini (?), Jangan hiraukan sekarang. Teruslah menulis, sampai pena kering, sampai isi kepala terasa kosong…

2. Iringi dengan Musik

Belahan otak kanan otak kita akan menjadi aktif bila terstimulasi oleh musik. Karenanya, pilihlah musik-musik favorit, agar mood menulis tetap terjaga. Hadirnya musik yang sesuai dengan suasana hati, akan membuat tulisan yang kita buat makin hidup.

3. Pilihlah Waktu yang Paling Sesuai

Bangun pagi sebenarnya adalah waktu yang tepat untuk mulai menulis. Inspirasi kadang bisa menyapa melalui mimpi. Karenanya ada baiknya kita mengingat-ingat mimpi kita sebelumnya. Catat Kata Kuncinya, bila kita tak memliki waktu lebih untuk menulis. Nanti, setelah ada waktu luang, kembangkan gagasan tersebut.

Kesibukan kerja terkadang membuat sebagian orang tak memiliki waktu luang untuk menorehkan tulisan. Karena itu, sebagian orang merasa nyaman untuk menulis pada sore hari, atau malam. Suasana hening biasanya mampu menambah daya imajinasi.

Untuk menjadi penulis yang efektif, kita harus mulai berkomitmen terhadap waktu. Pilihlah waktu luang satu-dua jam tiap hari, untuk menulis. Pilihlah tempat yang membuat kita nyaman dalam menulis dengan mengurangi sebanyak mungkin gangguan dari luar.

4. Perbanyak Aktivitas Fisik

Dengan sering-sering bergerak, syaraf motorik kita akan menjadi lebih berkembang. Banyak pengalaman baru yang bisa direkam otak, dan hal ini sangat bagus untuk menambah inspirasi dan sensasi-imajinasi. Kita akan lebih handal bercerita tentang detail-detail mengendarai mobil bila pernah memegang kemudi, bukan?

Berolahraga yang teratur akan membuat fisik kita menjadi sehat dan kuat. Hal tersebut penting dilakukan, untuk mengimbangi aktivitas menulis yang tak jarang menguras energi.

Senam otak juga dianjurkan untuk relaksasi, guna mengendorkan syaraf-syaraf yang tegang.

5. Uraikan menjadi Detail

Setelah kita menumpahkan ‘pena di meja’, kini saatnya ‘membersihkan noda-nodanya’. Salah ketik ejaan, salah tanda baca adalah ‘noda’ yang harus segera dihilangkan.

Berikutnya, tanyakan pada diri sendiri, akan dibawa ke arah mana penulisan tersebut? Opini atau cerita?! Puisi atau Prosa?

Kekuatan puisi adalah pada mantra kata-kata. Rima dan irama adalah kekuatan pendukungnya. Bila karya kita mau dibuat puisi, padatkan kata-katanya. Hilangkan kata-kata yang tak berguna.

Sedapat mungkin hilangkan imbuhan kata yang kurang penting, seperti :’yang’, ‘lalu’, kemudian’, ‘lantas’, ‘selanjutnya’, ‘dan’, ‘berikutnya’,’sedang,’akan’, ‘telah’, dan kata lain yang memboroskan.

Baca ulang puisi kita untuk lebih meresapi sensasinya. Cari padanan kata dan hindarkan pemakaian kata yang berulang-ulang, kecuali memang dimaksudkan untuk menambah ketegasan makna atau peristiwa.

Bila karya kita berbentuk prosa, tambahkan setting/latar cerita. Perkuat gambaran yang timbul, yang akan menambah deskripsi dan narasi tulisan.

6. Tumbuhkan Kebiasaan Membaca

Menulis dan membaca adalah kebiasaan yang saling tertaut. Banyak wawasan baru yang akan kita dapatkan dengan banyak-banyak membaca. Belajar dari karya orang lain sesungguhnya juga membuat kita belajar bagaimana proses kreatif mereka terbentuk.

Memperbanyak bahan bacaan akan membuat wawasan kita menjadi lebih luas. Banyak hal baru yang akan kita dapatkan dari sana, seperti ragam kehidupan dengan segala pernik dan maknanya, penggunaan bahasa dan pemakaian kata-katanya, gaya penulisan dan lain sebagainya.

Membaca majalah, koran, novel, cerpen, lirik lagu, puisi, ensiklopedia, buku-buku nonfiksi, peribahasa, komik, atau apa saja juga bisa memicu datangnya inspirasi. Karenanya jangan segan-segan menuliskannya begitu inspirasi itu hadir tiba-tiba.

7. Gunakan Kode Warna

Contoh pemakaian warna (berdasarkan ide/gagasan) :

Kuning untuk tulisan yang berkenaan dengan keceriaan, biru untuk kedalaman makna dan penghayatan, merah untuk penyemangat dan pengingat, hijau untuk kesegaran dan kesejukan (atau yang berhubungan dengan alam), dll.

Contoh pemakaian warna (berdasarkan fungsi penulisan) :

Hitam untuk semua penulisan awal. Merah untuk kata atau kalimat yang masih dalam proses editing (pada saat itu belum ditemukan kata/kalimat yang lebih pas, yang lebih mewakili). Tulisan berwarna hijau mewakili kata/kalimat yang telah mengalami proses editing. Tulisan biru mewakili gagasan baru, atau gagasan tambahan yang disisipkan pada sebuah kalimat atau paragraf…dan lain-lain.

8. Tantanglah diri sendiri

Musuh terbesar adalah diri sendiri. Jika anda telah berhasil menaklukkannya, sesungguhnya keberhasilan tinggal menunggu waktu saja! Egoisme diri adalah satu sifat diri yang apabila digunakan untuk tujuan yang tepat, akan sangat membantu keberhasilan dan kesuksesan.

Karenanya, tantanglah ego yang ada dalam diri kita. Beranikah menerima tantangan : membuat satu tulisan satu hari?

Selamat mencoba..!!!

Baca juga Artikel berikut :

Hambatan Menulis dan cara Mengatasinya

Motivasi Menulis

Jenis-Jenis Tulisan & Strukturnya


Belajar Menulis : Jenis Tulisan dan Strukturnya

Berikut beberapa tips yang bisa menambah referensi sahabat penulis ketika akan menulis berdasarkan jenis tulisan. Dalam tips berikut diberikan juga penjelasan untuk menghindari bias di dalam tulisan yang kita susun. Tips ini didapatkan dari salah satu tulisan di blog Jennie S. Bev.

Tips Menulis: Jenis Tulisan dan Strukturnya

  1. Tulisan ilmiah

Tulisan ilmiah memerlukan kalimat tesis, premis, dan hipotesis yang kuat barulah bisa dibuatkan kerangka berpikir untuk diuraikan lagi dalam beberapa bab dengan riset mendalam. Metodologi penelitian dan deviasi mesti bisa diuraikan dengan jelas, bahkan kalau perlu dikuantifikasikan. Biasanya, tulisan-tulisan ilmiah ini termasuk disertasi, tesis, skripsi, dan artikel-artikel dalam jurnal-jurnal ilmiah.

Kekuatan, ketajaman, dan kejernihan berpikir sangat menentukan hasil akhir yang agak “berat” dan “datar” karena segala macam unsur subjektif harus diminimalkan, terutama yang akan menimbulkan logika yang miring. Tulisan macam ini adalah tulisan yang berdasarkan pikiran. Bias diminimalisasi sedemikian rupa dengan pengujian-pengujian hipotesa dan segala macam tes logika yang miring. Tulisan ini mengandalkan pikiran, hampir tanpa unsur perasaan alias subjektifitas, kecuali dari bias latar belakang penulisnya dan ilmu yang dipelajarinya.

  1. Tulisan opini

Ini semi-semi ilmiah, namun unsur subjektifnya besar karena penulis bebas memasukkan sudut pandang dari hatinya sendiri. Struktur tulisan-tulisan opini biasanya dimulai dengan introduksi yang bisa juga berbentuk kalimat tanya atau suatu asumsi. Kesimpulannya gampang saja, tinggal menjawab pertanyaan di paragraf awal atau mengiyakan/menyangkal asumsi. Tubuh artikelnya yang lebih memerlukan banyak data dan pengolahan pikiran.

  1. Tulisan jurnalistik

Untuk jenis tulisan yang satu ini, saya belajar di Amerika Serikat sehingga standar yang dipakai adalah standar The Associated Press. Intinya kedengaran cukup mudah: paragraf-paragraf disusun berdasarkan kepentingan. Semakin penting informasinya, ditaruh semakin atas. Semakin tidak penting dan bisa dengan mudah disingkirkan tanpa mengubah arti dan kredibilitas reportase, akan ditaruh semakin di bawah. Tujuannya apa? Supaya menghemat waktu editing.

Penulisan reportase macam ini biasanya tidak memasukkan unsur-unsur subjektif, kecuali bias alami berdasarkan latar belakang penulisnya atau media yang diwakilinya. Dari membaca artikelnya sendiri, biasanya hampir tidak ada bias yang bisa ditarik secara eksplisit.

  1. Tulisan jurnalistik “feature”

Nah, yang satu ini sepertinya sudah diajarkan di bangku sekolah. Mudah saja: pengantar, tubuh, dan kesimpulan. Pengantarnya bisa bentuk ringkasan dari tubuh artikel, bisa juga kalimat tesis, atau apa saja, termasuk kutipan yang mewakili isi dari tubuh artikel. Tubuh artikelnya juga bisa berbentuk cerobong, piramida terbalik, maupun pipa. Tulis saja seindah dan sesubjektif yang Anda mau. Tidak begitu banyak aturannya.

  1. Tulisan ngepop, seperti untuk blogging atau “review” pendek.

Idealnya tetap ada pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Namun, kalau tidak cukup tempat saking singkatnya, cukup menuliskan beberapa ide pokok saja. Tidak perlu bertingkat kalau memang tidak memungkinkan. Jelas subjektifitas sangat tinggi dan Anda bisa memuji/mencaci dengan tanpa banyak halangan.

Diambil dan diedit seperlunya dari:
Situs : Jennie For Indonesia
Penulis : Jennie S. Bev
Alamat url: http://www.jennieforindonesia.com/?p=286

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search This Blog